Laporan Praktikum Fisiologi Ternak Acara Thermoregulasi

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TERNAK

ACARA V

THERMOREGULASI

 logo

Disusun oleh:

Kelompok XVI

Winda Oryza P.S                 PT/06481

Amir Latif                               PT/06534

Ray Rezky A                         PT/06548

Rahmat Noor Insan             PT/06563

Nurus Sobah                                    PT/06587

Sarah Silfani                                    PT/06600

Abdul Jafar A                        PT/06611

Asisten: Feby Nilasari

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK

BAGIAN PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014


ACARA V

THERMOREGULASI

 

Tinjauan Pustaka

            Metabolisme sangat sensitif terhadap perubahan suhu lingkungan internal seekor hewan, seperti laju respirasi seluler meningkat seiring peningkatan suhu sampai titik tertentu dan kemudian menurun ketika suhu itu sudah cukup tinggi sehingga mulai mendenaturasi enzim. Sifat-sifat membran juga berubah seiring dengan perubahan suhu. Meskipun spesies hewan yang berbeda telah diadaptasikan terhadap kisaran suhu yang berbeda-beda, setiap hewan mempunyai kisaran suhu optimum. Banyak hewan dapat mempertahankan suhu internal yang konstan meskipun suhu eksternalnya berfluktuasi. Thermoregulasi adalah pemeliharaan suhu tubuh di dalam suatu kisaran yang membuat sel-sel mampu berfungsi secara efisien (Campbell et al., 2004).

            Thermoregulasi merupakan suatu proses homeostatis untuk menjaga agar suhu tubuh suatu hewan tetap dalam keadaan stabil dengan cara mengatur dan mengontrol keseimbangan antara banyak energi (panas) yang diproduksi dengan energi yang dilepaskan. Thermogenesis yang terdapat pada hewan diperoleh dari hewan sendiri atau dari absorbsi panas lingkungan (Suripto, 1998). Hewan diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh, yaitu poikiloterm dan homoiterm. Hewan poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring dengan berubahnya suhu lingkungan. Sementara hewan homoiterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan atau tidak berubah sekalipun suhu lingkungannya sangat berubah (Isnaeni, 2006).

Hewan poikiloterm juga dapat disebut sebagai hewan ekoterm karena suhu tubuhnya ditentukan dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternalnya. Sementara homoiterm dapat disebut endoterm karena suhu tubuhnya diatur oleh produksi panas yang terjadi dalam tubuh, tetapi kadang kita dapat menemukan beberapa kekecualian, misalnya pada insekta. Insekta dikelompokkan sebagai hewan ekoterm, tetapi ternyata ada beberapa insekta, misalnya lalat, yang dapat menghasilkan tambahan panas tubuh dengan melakukan kontraksi otot (Isnaeni, 2006).

            Hewan mengalami pertukaran panas dengan lingkungan sekitarnya, atau dapat dikatakan berinteraksi panas. Interaksi tersebut dapat menguntungkan ataupun merugikan. Hewan ternyata dapat memperoleh manfaat yang besar dari peristiwa pertukaran panas ini. Interaksi panas tersebut ternyata dimanfaatkan oleh hewan sebagai cara untuk mengatur suhu tubuh mereka, yaitu untuk meningkatkan dan menurunkan pelepasan panas dari tubuh, atau sebaliknya untuk memperoleh panas. Interaksi atau pertukaran panas antara hewan dan lingkungannya dapat terjadi melalui empat cara, yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi (Bloom dan Fawcet, 2002).

 

Materi dan Metode

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum thermoregulasi adalah termometer, penjepit katak, arloji (stopwatch), kapas, kendi, dan beaker glass.

Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum thermoregulasi adalah katak, air panas, air es, dan probandus (manusia).

 

Metode

Pengukuran Suhu Tubuh

            Pengukuran pada mulut. Skala pada termometer diturunkan sampai 0oC, ujung termometer dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam mulut diletakkan di bawah lidah dan mulut ditutup rapat. Setelah 5 menit skala dibaca dan dicatat. Cara tersebut dilakukan juga pada mulut yang terbuka. Probandus berkumur dengan air es selama 1 menit dan dengan cara yang sama pula dilakukan pengukuran seperti di atas.

Pengukuran axillaris. Skala pada termometer diturunkan sampai 0oC, ujung termometer disisipkan pada fasa axillaris dengan pangkal lengan dihimpitkan. Tunggu 5 menit ,skala dibaca dan dicatat.

Proses Pelepasan Panas

            Proses pelepasan panas pada katak. Katak ditelentangkan pada papan dan diikat. Suhu tubuh katak diukur melalui oesophagus selama 5 menit. Katak dimasukkan ke dalam air es selama 5 menit dan diukur suhu tubuhnya melalui oesophagus. Katak dimasukkan ke dalam air panas 40oC selama 5 menit dan diukur suhu tubuhnya.

Proses pelepasan panas pada kendi. Disediakan dua kendi, yang satu dicat dan yang satunya tidak. Masing-masing diisi dengan air panas 70oC dengan jumlah yang sama lalu diukur suhunya dengan termometer setiap 5 menit sebanyak 6 kali.

 

Hasil dan Pembahasan

 

Pengukuran Suhu Tubuh

Tabel 1. Probandus

Nama Umur Jenis Kelamin
Winda Oryza P.S 19 tahun Perempuan
Aswin R.P 19 tahun Laki-laki

 

Tabel 2. Pengukuran suhu pada mulut dan axillaris

Perlakuan Probandus I Probandus II
Mulut Tertutup 37,5oC 38oC
Mulut Terbuka 37,2oC 37,6oC
Berkumur Air Es
Mulut Tertutup 35,7oC 37,4oC
Mulut Terbuka 36,2oC 37,3oC
Axillaris 37,3oC 37,4oC

 

            Pengukuran suhu pada mulut dan axillaris. Pada kedua probandus dapat dilihat bahwa suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang drastis atau relatif konstan yaitu kisaran antara 35,7oC sampai 38oC. Menurut Muttaqin (2009), suhu tubuh yang normal berkisar dari 36,6oC sampai 37,2oC (98oF sampai 99oF). Suhu pada mulut tertupup tercatat pada kedua probandus lebih tinggi dibandingkan dengan mulut terbuka yaitu mulut tertutup pada probandus I suhunya 37,5oC dan pada mulut terbuka suhunya 37,2oC, sedangkan probandus II ketika mulut tertutup suhunya 38oC dan mulut terbuka suhunya 37,6oC. Penyebabnya suhu mulut tertutup lebih tinggi dari mulut terbuka karena ketika mulut dalam keadaan tertutup, tidak ada sirkulasi udara di dalam mulut sehingga suhu yang terukur merupakan suhu tubuh secara keseluruhan, tetapi ketika mulut terbuka, terdapat sirkulasi udara sehingga suhu dalam tubuh ada yang hilang. Menurut Isnaeni (2006), pada saat mulut terbuka, udara di dalam tubuh suhunya menjadi tinggi karena metabolisme dalam tubuh akan bercampur dengan udara yang bersuhu rendah, sehingga akan mencapai keseimbangan dalam dan luar mulut, mengakibatkan suhu udara dalam mulut menjadi turun.

            Setelah probandus berkumur dengan air es, kedua probandus mengalami sedikit penurunan suhu namun tidak begitu signifikan yaitu kisaran 35,7oC sampai 37,4oC. Setelah dilakukan pengukuran suhu dengan mulut tertutup dan mulut terbuka, suhu pada probandus I ketika pengukuran dengan mulut tertutup lebih rendah daripada mulut terbuka yaitu pada mulut tertutup suhunya 35,7oC dan mulut terbuka suhunya 36,2oC. Tidak sesuai dengan pendapat Isnaeni (2006) yang menyatakan bahwa suhu pada mulut tertutup lebih tinggi daripada suhu mulut terbuka. Penyebabnya karena ketika melakukan pengukuran suhu dengan mulut tertutup, probandus I tidak benar-benar menutup mulutnya dan sesekali berbicara dengan praktikan lain, sehingga menyebabkan adanya sirkulasi udara di dalam mulut yang menyebabkan suhunya lebih rendah dari yang seharusnya. Suhu pada probandus II ketika mulut tertutup sebesar 37,4oC dan mulut terbuka sebesar 37,3oC, sudah sesuai dengan pendapat Isnaeni (2006) yang menyatakan bahwa suhu pada mulut tertutup lebih tinggi daripada suhu mulut terbuka.

            Pengukuran suhu pada axillaris hasilnya tidak jauh berbeda dengan ketika melakukan pengukuran dengan mulut tertutup sebelum berkumur dengan air es yaitu pada probandus I sebesar 37,3oC dan probandus II sebesar 37,4oC. Penyebabnya karena manusia merupakan homoiterm yaitu dalam keadaan normal, suhu manusia relatif stabil meskipun keadaan lingkungan berubah-ubah. Menurut Muttaqin (2009), suhu tubuh yang diukur per axillaris dapat lebih rendah 0,5oC daripada suhu tubuh, yang diukur per mulut. Menurut Campbell et al. (2004), hewan homoiterm dapat melakukan aktivitas pada suhu lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuhnya. Burung dan mamalia temasuk hewan homoiterm.

            Pelepasan panas dari tubuh hewan endoterm terjadi dengan beberapa cara, antara lain melepaskan panas ke lingkungannya melalui vasodilatasi pembuluh darah perifer, dan meningkatkan penguapan air melalui kulit (misalnya dengan berkeringat) atau melalui saluran pernapasan (dengan terengah-engah, misalnya pada anjing dan burung yang tidak mempunyai kelenjar keringat). Kanguru melakukannya dengan membasahi rambutnya dengan air ludah. Penguapan air ludah tersebut menimbulkan efek pendinginan (Bloom dan Fawcet, 2002). Menurut Anderson (1996), kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi suhu tubuh sehingga menyebabkan terjadinya variasi suhu tubuh antara lain umur, jenis kelamin, musim, aktivitas (latihan), iklim, waktu tidur, makan, minum.

Panas disingkirkan dari tubuh oleh radiasi dan konduksi (70%), evaporasi (27%), dan sejumlah kecil panas juga dibuang dalam urine (2%), dan feses (1%). Radiasi yaitu panas dibebaskan atau dikeluarkan dengan cara pemancaran. Perpindahan panas antara dua benda terjadi tanpa harus ada sentuhan. Contohnya perpindahan panas dari matahari ke tubuh hewan. Tubuh hewan selain dapat memancarkan panas juga dapat menyerap panas. Kulit, rambut, dan bulu merupakan penyerap radiasi yang baik. Kulit dan rambut yang berwarna gelap akan lebih banyak menyerap radiasi daripada kulit dan rambut yang berwarna terang. Konduksi adalah penghantaran panas yang terjadi karena bersentuhan dengan benda yang lebih rendah suhunya. Laju aliran panas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti luas permukaan benda yang saling bersentuhan, perbedaan suhu awal antara kedua benda, dan konduktivitas panas dari kedua benda tersebut (Isnaeni, 2006). Contoh pada ternak adalah sapi yang terkena sinar matahari secara langsung.

Konduktivitas panas merupakan tingkat kemudahan untuk mengalirkan panas yang dimiliki suatu benda. Setiap benda memiliki konduktivitas yang berbeda. Hewan memiliki konduktivitas panas yang rendah dengan kata lain merupakan penahan panas (isolator) yang baik. Contohnya lagi adalah juga rambut dan bulu. Karena hal inilah aves dan mamalia yang banyak memiliki bulu dan rambut hanya akan melepas sejumlah kecil panas dari tubuhnya ke benda lain yang bersentuhan dengannya (Isnaeni, 2006). Contoh pada ternak adalah ketika sapi sedang tidur, maka kulitnya akan bersentuhan langsung dengan lantai.

Konveksi ialah gerakan molekul-molekul gas atau cairan dengan suhu tertentu ke tempat lain yang suhunya berbeda, membantu konduksi. Dalam hal ini panas dari tubuh hewan dapat berpindah ke lingkungan sekitar atau sebaliknya, panas dari lingkungan yang masuk ke tubuh hewan (Isnaeni, 2006). Contoh pada ternak adalah pemberian blower atau ventilasai pada kandang ternak agar sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik.

Evaporasi merupakan proses perubahan benda dari fase cair ke fase gas. Dapat melalui penguapan lewat kulit dan saluran pernafasan dan dapat juga sebagian kecil pembebasan panas lewat feses dan urin. Evaporasi merupakan salah satu mekanisme penting pada hewan untuk menurunkan suhu / melepaskan panas dari tubuh. Contohnya saat tubuh panas, hewan akan menanggapi kenaikan suhu tersebut dengan berkeringat. Keringat yang keluar akan membasahi kulit dan menyerap kelebihan panas tersebut dan menjadi uap. Setelah keringat kering suhu tubuh akan turun. Hanya saja tidak semua hewan memiliki kelenjar keringat. Hewan yang tidak dapat berkeringat seperti anjing akan meningkatkan penguapan melalui saluran pernapasan mereka. Pada anjing akan terengah-engah sambil menjulurkan lidahnya untuk mengurangi panas tubuh (Isnaeni, 2006).

Proses Pelepasan Panas

Tabel 2. Pengukuran suhu tubuh katak

Perlakuan Suhu Lingkungan Suhu Katak
Keadaan Biasa 32oC 31oC
Dalam Air Es 17oC 22oC
Dalam Air Panas 40oC 32oC

 

            Proses pelepasan panas pada katak. Hasil pengamatan suhu pada katak menunjukkan perbedaan suhu yang sangat signifikan. Katak dalam keadaan biasa, suhunya adalah 31oC, mendekati suhu lingkungan yaitu 32oC. Suhu tubuh katak menunjukkan angka 22oC ketika dimasukkan pada air yang bersuhu 17oC dan ketika dimasukkan pada air bersuhu 40oC suhu katak menunjukkan angka 32oC, ini membuktikan bahwa katak termasuk hewan poikiloterm dimana suhu lingkungan sedikit banyak mempengaruhi suhu tubuhnya. Menurut Suripto (1998), pada lingkungan yang dingin, katak akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, yaitu dengan menurunkan suhu tubuhnya, demikian pula pada keadaan panas maka katak akan meningkatkan suhu tubuhnya. Menurut Sumanto (1996), sebagian besar enzim mempunyai suhu optimum yang sama dengan suhu normal sel organisme tersebut. Suhu optimum enzim pada hewan poikiloterm di daerah dingin biasanya lebih rendah daripada enzim pada hewan homoiterm. Contohnya, suhu optimum pada manusia adalah 37oC, sedangkan pada katak 25oC.

            Menurut Sonjaya (2003), pada hewan poikilotermik darat, misalnya katak, keong dan serangga, suhu tubuhnya dapat lebih mendekati suhu udara lingkungan. Input radiasi panas dari matahari atau sumber lain mungkin meningkatkan suhu tubuh di atas suhu lingkungan, dan penguapan air melalui kulit dan organ-organ respiratori menekan suhu tubuh beberapa derajat di bawah suhu lingkungan. Hewan darat dapat memelihara keseimbangann tubuh dengan mengurangi penguapan dan kehilangan panas lewat konduksi dan memaksimalkan penambahan panas melalui radiasi dan panas metabolik.

            Menurut Soewolo (2000), adaptasi terhadap suhu yang panas pada hewan poikiloterm dilakukan dengan meningkatkan laju pendinginan dengan penguapan melalui kulit bagi hewan yang berkulit lembab (cacing dan katak) atau dengan cara berkeringat (untuk hewan yang mempunyai kelenjar keringat), melalui saluran pernafasan, bagi hewan yang kulitnya tebal dan kedap air (reptil dan insekta), mengubah mesin metaboliknya agar bisa bekerja pada suhu tinggi (kadal dan reptil). Adaptasi terhadap suhu dingin dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi osmotik, titik beku cairan tubuh dapat diturunkan hingga dibawah 0oC. Zat terlarut  gula, seperti fruktosa atau derivatnya, dan gliserol (bermanfaat untuk melindungi membran dan enzim dari denaturasi akibat suhu yang sangat dingin, contoh : lalat dari Alaska, Rhabdophaga strobiloides, yang dapat bertahan hingga suhu -60oC), menghambat pembentukan kristal es di dalam sel untuk mencegah kerusakan membran. Dilakukan dengan cara menambahkan glikoprotein antibeku ke dalam tubuh. Glikoprotein adalah molekul polimer dari sejumlah monomer yang tersusun atas tripeptida yang terikat pada derivat galaktosamin.

Tabel 3. Proses pelepasan panas menggunakan kendi

Kendi Suhu (oC)
Awal I II III IV V VI
Bercat 64 61 58 52 50 50 49
Tidak Bercat 64 58 54 51 49 48 45

 

            Proses pelepasan panas pada kendi. Hasil dari pelepasan panas pada kendi menunjukkan bahwa suhu air dalam kendi yang bercat lebih konstan dibanding dengan kendi yang tanpa cat.  Kendi yang bercat, pori-pori kendinya tertutup oleh cat yang menyebabkan proses pelepasan panas menjadi lambat, sedangkan pada kendi yang tanpa cat proses pelepasan panasnya lebih cepat karena pori-pori kendi tidak tertutup. Menurut Martini (1998), semakin banyak pori-pori dalam luas kontak permukaan dan semakin tinggi perbedaan suhu amtara sistem dengan lingkungan, maka proses konveksi dan evaporasi semakin cepat.

 

Kesimpulan

 

Manusia memiliki suhu tubuh yang cenderung konstan meskipun suhu di lingkungan berubah-ubah, yaitu kisaran antara 35,7oC sampai 38oC, sehingga manusia disebut sebagai homoiterm, sedangkan katak memiliki suhu tubuh yang berubah-ubah sesuai dengan suhu di lingkungan sekitarnya, sehingga katak disebut poikiloterm. Proses pelepasan panas terdapat empat macam, yaitu radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi.

 

Daftar Pustaka

 

Anderson, Paul D. 1996. Anatomi Fisiologi Tubuh Manusia. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Bloom dan Fawcet. 2002. Bahan Ajar Histologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Campbell, N.A., J.B Reece., L.G Mitchell. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Penerbit Erlangga. Jakarta

Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Martini. 1998. Fundamental of Anatomy and Physiology 4th ed. Prentice Hall International Inc. New Jersey.

Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.

Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Sonjaya, H. 2013. Bahan Ajar Fisiologi Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Sumanto. 1996. Fisiologi Hewan. UNS Press. Surakarta.

Suripta, Melvin J., and W.A Reece. 1998. Duke’s Physiology of Domestic Animals. Cornell University Press. London.

Download Laporan Praktikum Fisiologi Ternak Acara Theroregulasi

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published.