Laporan Ilmu Ternak Perah Tingkah Laku Malam dan Tata Laksana Pemeliharaan Sapi Perah

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU TERNAK PERAH

TINGKAH LAKU (MALAM) DAN TATALAKSANA PEMELIHARAAN SAPI PERAH

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun oleh :

Kelompok X

Nurus Sobah (13/349268/PT/06587)

 

 

Asisten :Dewi Wahyu Puspitasari

 

 

 

 

LABORATORIUM ILMU TERNAK PERAH DAN INDUSTRI PERSUSUAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

 

            Adanya sapi perah di Indonesia diawali sejak abad ke-17, orang Belanda membawa sapi perah Holstein dari negerinya ke Indonesia untuk kepentingan orang-orang Eropa, terutama pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Orang-orang India dan Pakistan telah lama berdagang susu diperolehnya dari sapi Zebu yang didatangkan dari negerinya. Pemerintah Indonesia mendatangkan sapi Friesian Holstein (FH) murni dari Belanda sebanyak 1000 ekor melalui PN. Perhewani, dilakukan pada tahun 1965 (Soetarno, 2000). Sapi Holstein mempunyai warna yang cukup terkenal, belang hitam-putih dan ini merupakan warna yang dominan. Warna belang hitam-putih tersebut mempunyai perbatasan yang tegas sehingga tidak ada warna bayangan, dan perbandingan antara warna hitam dan putih tidak tertentu / tidak tetap. Bulu kipas ekor, bagian perut dan kaki dari tracak sampai lutut (knee) atau (hock) berwarna putih (Prihadi, 1997).

Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan sapi perah hasil keturunan dari induk FH baik yang dikawinkan secara alamiah maupun Inseminasi Buatan (IB) dengan FH murni. Keunggulan dari sapi PFH diantaranya lebih tahan panas daripada sapi FH dan mudah menyesuaikan pada iklim tropis dengan tidak mengurangi produksi susu maksimal. Oleh karena itu sapi PFH merupakan sapi yang paling cocok untuk dibudidayakan di Indonesia (Ratnawati et.al., 2007).

Penampilan produksi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor keturunan (genetic), pakan, pengelolaan, perkandangan, pemberantasan dan pencegahan penyakit serta faktor lingkungan yang cukup dominan dalam mempengaruhi produktivitas ternak adalah iklim mikro. Iklim mikro di suatu tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara optimal. Ada empat unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak secara langsung, yaitu : suhu, kelembaban udara, radiasi dan kecepatan angin, sedangkan dua unsur lainnya yaitu evaporasi dan curah hujan mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak langsung. Interaksi keempat unsur iklim mikro tersebut dapat menghasilkan suatu indeks dengan pengaruh yang berbada terhadap ternak (Yani dan Purwanto, 2006).


 

BAB II

KEGIATAN PRAKTIKUM

 

Pengukuran Data Fisiologis dan Lingkungan

Temperatur Rektal. Pengukuran temperatur rektal ternak dilakukan dengan memasukkan thermometer yang skalanya telah dinolkan kedalam rektum kurang lebih sepertiga bagian selama 1 menit sebanyak 3 kali, kemudian hasilnya dirata-rata.

Frekuensi Respirasi. Pengukuran frekuensi respirasi dilakukan dengan melihat kembang kempisnya perut atau dengan mendekatkan punggung telapak tangan didepan hidung ternak untuk merasakan hembusan nafas selama 1 menit sebanyak 3 kali, kemudian hasilnya dirata-rata.

Frekuensi Pulsus. Pengukuran frekuensi pulsus dilakukan dengan meraba pada arteri caudal atau coxigeal tengah dari permukaan ventral ekor sampai terasa denyutan arterinya, dilakukan selama 1 menit sebanyak 3 kali, kemudian hasilnya dirata-rata.

Pengukuran Kondisi Lingkungan. Pengamatan lingkungan dilakukan dengan mengukur suhu kandang dan kelembaban dengan menggunakan thermohygrometer. Hasil keduanya kemudian dicatat.

Pengamatan Tingkah Laku Sapi Perah

Frekuensi Minum dan Volume Air Minum. Praktikan mengukur volume air yang ada di tempat minum ternak kemudian mengukur volume air yang diminum dengan cara mengukur volume air yang tersisa. Volume air yang diminum adalah volume air semula dikurangi volume air sisa / hasil pengukuran. Frekuensi minum dihitung dari berapa kali ternak minum setiap jamnya, kemudian hasil masing-masing dicatat.

Frekuensi Urinasi dan Volume Urinasi. Ketika sapi melakukan urinasi, urine yang keluar ditampung dengan ember dan kemudian diukur volumenya, sedangkan frekuensi urinasi dihitung berapa kali ternak melakukan urinasi setiap jamnya, kemudian hasilnya dicatat.

Frekuensi Defekasi dan Berat Defekasi. Ketika sapi melakukan defekasi, feses yang keluar ditampung dengan ember dan ditimbang beratnya, sedangkan frekuensi defekasi dihitung berapa kali ternak melakukan defekasi setiap jamnya, kemudian hasilnya dicatat.

Lama Remastikasi. Waktu remastikasi dihitung sejak sapi mulai melakukan remastikasi sampai berhenti remastikasi.

Jumlah Kunyahan per-bolus. Jumlah kunyahan per-bolus dihitung sejak ternak remastikasi sampai deglutisi per-bolus, dilakukan sebanyak 3 kali dan hasilnya dirata-rata kemudian dicatat.

Waktu Berdiri dan Lama Berdiri. Waktu berdiri dicatat saat sapi mulai berdiri dan akhir berdiri dicatat saat sapi mulai berbaring, sedangkan lama berdiri dihitung sejak sapi berdiri sampai berbaring, kemudian hasilnya dicatat.

Waktu Berbaring dan Lama Berbaring. Waktu berbaring dicatat saat sapi mulai berbaring dan akhir berbaring dicatat saat sapi mulai berdiri, sedangkan lama berbaring dihitung sejak sapi mulai berbaring sampai berdiri lagi, kemudian hasilnya dicatat.

 

 

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Pengukuran Data Fisiologis Dan Lingkungan Sapi Perah

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan data fisiologis dan lingkungan sapi perah adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Data fisiologis dan lingkungan sapi Dahlia

Pukul Frekuensi Respirasi (kali/menit) Frekuensi Pulsus (kali/menit) Temperatur Rektal (0C) Kelembaban Kandang (%) Temperatur Kandang (0C)
18.00 37 60 38,9 50 25,6
20.00 23 65 38,3 56 24,8
22.00 19 61 38,5 63 23,9
24.00 35 64 38 73 22,8
01.00 29 61 38,06 75 22,9
02.00 29 59 37,9 72 23
04.00 13 55 38 72 23,1
06.00 13 65 38,23 77 22,4

 

Grafik 1. Data fisiologis dan lingkungan sapi Dahlia

 

 

Tabel 2. Data fisiologis dan lingkungan sapi Krisan

Pukul Frekuensi Respirasi (kali/menit) Frekuensi Pulsus (kali/menit) Temperatur Rektal (0C) Kelembaban Kandang (%) Temperatur Kandang (0C)
18.00 30 57 38,93 50 25,6
20.00 38 59 38,8 56 24,8
22.00 47 62 38,5 63 23,9
24.00 53 54 38,3 73 22,8
01.00 44 62 38,2 75 22,9
02.00 51 70 38,67 72 23
04.00 25 65 37,3 72 23,1
06.00 34 66 38 77 22,4

 

Grafik 2. Data fisiologis dan lingkungan sapi Krisan

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 3. Data fisiologis dan lingkungan sapi Seruni

Pukul Frekuensi Respirasi (kali/menit) Frekuensi Pulsus (kali/menit) Temperatur Rektal (0C) Kelembaban Kandang (%) Temperatur Kandang (0C)
18.00 52 23 38,46 50 25,6
20.00 31 67 38,36 56 24,8
22.00 32 69 38,56 63 23,9
24.00 35 70 38,06 73 22,8
01.00 40 69 38,33 75 22,9
02.00 38 68 38,33 72 23
04.00 35 68 38,53 72 23,1
06.00 39 69 37,96 77 22,4

 

Grafik 3. Data fisiologis dan lingkungan sapi Seruni

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 4. Data fisiologis dan lingkungan sapi Lavender

Pukul Frekuensi Respirasi (kali/menit) Frekuensi Pulsus (kali/menit) Temperatur Rektal (0C) Kelembaban Kandang (%) Temperatur Kandang (0C)
18.00 32 82 38,6 50 25,6
20.00 39 78 38,4 56 24,8
22.00 25 72 38,28 63 23,9
24.00 28 67 38,06 73 22,8
01.00 25 69 38 75 22,9
02.00 31 70 38 72 23
04.00 22 73 38,16 72 23,1
06.00 21 62 38,06 77 22,4

 

Grafik 4. Data fisiologis dan lingkungan sapi Lavender

Sapi Dahlia memiliki rata-rata frekuensi respirasinya adalah 25 kali per menit dengan rincian frekuensi respirasi tertinggi 37 kali per menit, terjadi pada pukul 18.00 saat temperatur lingkungan 25,60C dan frekuensi respirasi paling rendah 13 kali per menit yang terjadi pada pukul 04.00 dan 06.00 saat temperatur lingkungan 23,10 dan 22,40C. Rata-rata frekuensi pulsusnya adalah 61 kali per menit dengan rincian rekuensi pulsus tertinggi 65 kali per menit, terjadi pada pukul 20.00 dan 06.00 saat temperatur lingkungan 24,80 dan 22,40C dan frekuensi pulsus paling rendah 55 kali per menit yang terjadi pada pukul 04.00 saat temperatur lingkungan 23,10C. Rata-rata temperatur rektal 38,230C.

Sapi Krisan memiliki rata-rata frekuensi respirasinya adalah 41 kali per menit dengan rincian frekuensi respirasi tertinggi 53 kali per menit, terjadi pada pukul 24.00 saat temperatur lingkungan 22,80C dan frekuensi respirasi paling rendah 25 kali per menit yang terjadi pada pukul 04.00 saat temperatur lingkungan 23,10C. Rata-rata frekuensi pulsusnya adalah 62 kali per menit dengan rincian frekuensi pulsus tertinggi 70 kali per menit, terjadi pada pukul 02.00 saat temperatur lingkungan 230C dan frekuensi pulsus paling rendah 54 kali per menit yang terjadi pada pukul 24.00 saat temperatur lingkungan 22,80C. Rata-rata temperatur rektal 38,340C.

Sapi Seruni memiliki rata-rata frekuensi respirasinya adalah 38 kali per menit dengan rincian frekuensi respirasi tertinggi 52 kali per menit, terjadi pada pukul 18.00 saat temperatur lingkungan 25,60C dan frekuensi respirasi paling rendah 31 kali per menit yang terjadi pada pukul 20.00 saat temperatur lingkungan 24,80C. Rata-rata frekuensi pulsusnya adalah 64 kali per menit dengan rincian frekuensi pulsus tertinggi 70 kali per menit, terjadi pada pukul 24.00 saat temperatur lingkungan 22,80C dan frekuensi pulsus paling rendah 28 kali per menit yang terjadi pada pukul 18.00 saat temperatur lingkungan 25,60C. Rata-rata temperatur rektal 38,40C.

Sapi Lavender memiliki rata-rata frekuensi respirasinya adalah 28 kali per menit dengan rincian frekuensi respirasi tertinggi 39 kali per menit, terjadi pada pukul 20.00 saat temperatur lingkungan 24,80C dan frekuensi respirasi paling rendah 21 kali per menit yang terjadi pada pukul 06.00 saat temperatur lingkungan 22,40C. Rata-rata frekuensi pulsusnya adalah 72 kali per menit dengan rincian frekuensi pulsus tertinggi 82 kali per menit, terjadi pada pukul 18.00 saat temperatur lingkungan 25,60C dan frekuensi pulsus paling rendah 62 kali per menit yang terjadi pada pukul 06.00 saat temperatur lingkungan 22,40C. Rata-rata temperatur rektal 38,20C.

Menurut Yani dan Purwanto (2006), pada malam hari, suhu rektal akan terus mengalami penurunan, sedangkan pada pagi sampai sore suhu rektal mengalami kenaikan. Pernyataan tersebut sudah sesuai dengan temperatur rektal dari data yang didapat meskipun temperatur rektal pada masing-masing sapi ada yg naik tetapi itu tidak begitu signifikan dan masih menunjukkan bahwa temperatur rektal terus menurun pada malam hari. Ada banyak faktor yang menyebabkan suhu tubuh sapi PFH meningkat, salah satunya adalah karena cekaman panas. Menurut Yani dan Purwanto (2006), peningkatan denyut jantung merupakan respon dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin. Pernapasan merupakan respons tubuh ternak unutk membuang atau mengganti panas dengan udara sekitarnya. Jika kedua respo tersebut tidak berhasil, maka suhu organ tubuh ternak akan meningkat sehingga ternak akan mengalami cekaman panas. Berdasarkan data yang ada bila dibandingkan dengan literatur adalah untuk semua sapi temperatur rektalnya dalam keadaan normal.

Menurut Sudrajad dan Adiarto (2011), frekuensi respirasi normal antara 24 sampai 32 kali/menit. Naiknya frekuensi respirasi merupakan salah satu tanda sapi perah mengalami stres panas. Tujuan dari respirasi adalah untuk memaksimalkan pengeluaran panas karena sapi perah berada di kandang dengan kelembaban tinggi. Tingginya frekuensi respirasi ini terjadi karena 2 faktor penyebab, yaitu ketidaknyamanan saat datangnya petugas pengamat, dan ketidaknyamanan akibat perubahan kondisi temperatur dan kelembaban.

Frekuensi menggambarkan kuat lemahnya kerja jantung dalam tubuh (Sudrajad dan Adiarto, 2011). Berdasarkan data frekuensi respirasi sapi PFH tersebut diketahui bahwa rata-rata frekuensi pulsus Lavender adalah 61,6 kali/menit sampai dengan 82,3 kali/menit, Seruni 28,3 kali/menit sampai dengan 69,6 kali/menit, Dahlia 55,3 kali/menit sampai dengan 65,3 kali/menit, Krisan 54 kali/menit sampai dengan 65,67 kali/menit. Menurut Sudrajad dan Adiarto (2011), frekuensi pulsus normal pada sapi perah adalah antara 54 sampai 84 kali/menit.

Pengukuran Lingkungan Kandang

Pukul Kelembaban Kandang (%) Temperatur Kandang (0C)
18.00 50 25,6
20.00 56 24,8
22.00 63 23,9
24.00 73 22,8
01.00 75 22,9
02.00 72 23
04.00 72 23,1
06.00 77 22,4

Tabel 4. Kelembaban kandang dan temperatur kandang

 

Dari data terserbut dapat diketahui bahwa kelembaban kandang berkisar antara 50% sampai dengan 77%, sedangkan temperatur kandang berkisar antara 22,40C sampai dengan 250C. Suhu dan kelembaban kandang sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan tingkah laku dari sapi perah tersebut. Menurut Yani dan Purwanto (2006), suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklm yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak. Menurut Yani et.al., (2007), sapi bangsa Friesian Holstein (FH) yang ada di Indonesia didatangkan dari negara-negara Eropa yang memiliki iklim sedang (temperate) dengan kisaran suhu rendah berkisar 5 sampai 250C, sehingga sangat peka terhadap perubahan iklim mikro (suhu dan kelembaban udara). Apabila sapi FH ditempatkan pada lokasi yang memiliki suhu tinggi dan kelembaban udara yang tidak mendukung maka sapi tersebut akan mengalami cekaman panas yang berakibat pada menurunnya produktivitas sehingga potensi genetiknya tidak dapat tampil secara optimal. Sapi-sapi perah di daerah subtropis temperatur ideal adalah antara 30-60 (-1,110 – 15,560C) dengan kelembaban udara rendah (<80%) dan temperatur kritis sekitar 80-850F (26,670-29,440C). Apabila temperatur udara naik di atas 600F yaitu sampai temperatur 800F pengaruhnya terhadap produksi susu setiap individu adalah kecil (Soetarno, 2000).

Pengamatan Tingkah Laku Sapi Perah

Frekuensi dan volume minum.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan data frekuensi minum dan volume minum sapi PFH sebagai berikut :

 

Tabel 5. Data hasil pengamatan minum sapi perah

Waktu Frekuensi minum (kali) Volume minum (ml)
Lavender Seruni Dahlia Krisan Lavender Seruni Dahlia Krisan
18.00-19.00 1 1 1 50460 118800
19.00-20.00 1 48720 118800
20.00-21.00 1 46920 118800
21.00-22.00 1 46920 118800
22.00-23.00 4 1 41760 118800
23.00-24.00 1 41760 118800
24.00-01.00 2 1 34800 108000
01.00-02.00 1 34800 108000
02.00-03.00 1 34800 108000
03.00-04.00 34800 108000
04.00-05.00 34800 108000
05.00-06.00 1 1 34800 108000
Total 7 4 3 2 15660 10800

 

 

Dari data hasil pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa frekuensi minum sapi Lavender selama 12 jam (18.00 – 06.00) sebanyak 7 kali minum, sapi Seruni sebanyak 4 kali, sapi Dahlia sebanyak 3 kali, dan sapi Krisan  sebanyak 2 kali minum. Menurut Yani dan Purwanto (2006), konsumsi air minum sapi perah dewasa pada lingkungan nyaman sekitar 3 – 3,5 liter/kilogram bahan kering dan akan meningkat pada kondisi cekaman panas. Pada kondisi tidak nyaman dengan suhu lingkungan malam hari sekitar 240C dan siang hari sekitar 33,340C, sapi dara mengkonsumsi air minum sebanyak 10,58 – 12,76% dari bobot badan.Pemberian air minum dingin dapat meningkatkan produksi susu sapi Holstein sebesar 10,86% dari 22,1 pada air minum 100C.

Frekuensi dan volume urinasi.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan data frekuensi urinasi dan volume urin sapi PFH sebagai berikut :

 

Tabel 6. Data hasil pengamatan urinasi sapi perah

Waktu Frekuensi urinasi (kali) Volume urinasi (ml)
Lavender Seruni Dahlia Krisan Lavender Seruni Dahlia Krisan
18.00-19.00 1 1 1 2240 1200 2400
19.00-20.00 1 2100
20.00-21.00 1 2090
21.00-22.00 1 10800
22.00-23.00 1 1 4000 3400
23.00-24.00 1 8100
24.00-01.00 1 1 2610 2200
01.00-02.00 1 1 2600 6800
02.00-03.00 1 2420
03.00-04.00 2 1 6290
04.00-05.00 2700
05.00-06.00 1 1 1 1840 3300 7200
Total 8 6 6 2 21170 10320 22800 17600

 

Dari data hasil pengamatan tersebut dapat diketahui volume urinasi sapi Lavender selama 12 jam ialah 21,17liter, sapi Seruni sebanyak 10,32 liter, sapi Dahlia sebanyak 22,8 liter, dan sapi Krisan  sebanyak 17,6 liter. Menurut Soeharsono (2010), total output urine pada sapi yang tidak sedang laktasi adalah 7 liter sedangkan untuk yang sedang laktasi adalah 11 liter.

Frekuensi dan volume defekasi.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan data frekuensi urinasi dan volume urin sapi PFH sebagai berikut :

 

Tabel 7. Data hasil pengamatan defekasi sapi perah

Waktu Frekuensi defekasi (kali) Berat defekasi (kg)  
Lavender Seruni Dahlia Krisan Lavender Seruni Dahlia Krisan
18.00-19.00 1 1  
19.00-20.00
20.00-21.00 1 2
21.00-22.00 1 3,5
22.00-23.00 1 1,7
23.00-24.00 1 3,8
24.00-01.00 1 2,1
01.00-02.00 1 1 3,7 4
02.00-03.00
03.00-04.00 2 1 1 4,5 2,5
04.00-05.00
05.00-06.00 1 3,7
Total 4 3 4 2 8,2 5,7 14,9 7,5

 

Dari data hasil pengamatan tersebut dapat diketahui volume urinasi sapi perah selama 12 jam (18.00-06.00) adalah pada Lavender 8,2 kg, Seruni sebanyak 5,7 kg, Dahlia sebanyak 14,9 kg, dan Krisan sebanyak 7,5 kg.  Menurut Soeharsono (2010), total output feces untuk sapi yang tidak sedang laktasi adalah 12 liter sedangkan untuk sapi yang sedang laktasi sebanyak 19 liter.

Lama berbaring.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan data frekuensi urinasi dan volume urin sapi PFH sebagai berikut :

Tabel 8. Data hasil pengamatan waktu berbaring sapi

Waktu Waktu berbaring sapi (menit)
Lavender Seruni Dahlia Krisan
18.00-19.00
19.00-20.00 32
20.00-21.00 79 78
21.00-22.00 16 152
22.00-23.00 51 100
23.00-24.00 48 250
24.00-01.00 21
01.00-02.00 201
02.00-03.00 71
03.00-04.00 204 15 1jam 25 menit 76
04.00-05.00 13  
05.00-06.00 96 90 37 100
Total 526 451 372 529

 

Dari data hasil praktikum tersebut dapat diketahui bahwa lama berbaring sapi-sapi tersebut selama 12 jam (18.00-06.00) adalah pada sapi Lavender selama 8 jam 46 menit, sapi Seruni selama 7 jam 31 menit, sapi Dahlia selama 6 jam 12 menit, dan sapi Krisan selama 8 jam 49 menit.

Lama remastikasi dan kunyahan per bolus.

Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan data lama remastikasi dan rata-rata kunyahan per bolus sapi perah sebagai berikut.

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 9. Lama remastikasi dan rata-rata kunyahan per bolus.

Waktu Total menit Kunyahan per bolus (kali/menit)  
Lavender Seruni Dahlia Krisan Lavender Seruni Dahlia Krisan
18.00-19.00 38 11 25 52,3 30 25,5  
19.00-20.00 37 35 60,6 37
20.00-21.00 20 65 51 45,3 37,6 41
21.00-22.00 32 34 17 42,6 37,3 32,2
22.00-23.00 36 26 52 43 24 40,3
23.00-24.00 31 15 46,6 35,3
24.00-01.00 15 27 22 35 40 33,6
01.00-02.00 15 32 22 41,3 38 42,3
02.00-03.00 30 112 43,6 38 49
03.00-04.00 17 15 45 36,6 2,7 31
04.00-05.00 38 27 45 132 48 38 43 52,67
05.00-06.00 4 20 43 39
Total 313 337 236 321 537,9 313,88 14,9 225,27

 

Dari data hasil praktikum tersebut dapat diketahui bahwa lama berbaring sapi-sapi tersebut selama 12 jam (18.00-06.00) adalah pada sapi Lavender adalah 313 menit, sapi Seruni 337 menit, sapi Dahlia 236 menit dan sapi Krisan 321 menit dengan kunyahan bolus rata-rata masing-masing sapi perah yaitu 48 kali, 38 kali, 43 kali dan 53 kali. Menurut Soeharsono (2010), begitu makanan sampai di dalam mulut, terjadi proses pengunyahan atau remastikasi. Proses ini sama seperti pada proses mastikasi, akan tetapi proses remastikasi atau pengunyahan kembali ini lebih lama dibandingkan dengan sewaktu mastikasi. Rahang bergerak pada gerakan ventrolateral menggiling, dan tiap bolus dikunyah antara 30-35 kali dan yang paling sering antara 50-70 kali dengan rata-rata gerakan rahang 56,4 kali. Jumlah gerakan ini bergantung kepada jenis makanan yang dikonsumsi. Makanan yang banyak mengandung serat kasar dikunyah lebih lama daripada yang sedikit mengandung serat kasar.

Penyakit dan Pencegahannya

Mastitis.

Ambing seekor sapi betina kadang menjadi panas dan sangat keras. Kadang-kadang dihasilkan susu yang mengandung darah atau yang paling ringan dihasilkan air susu yang kental (lumpy). Penyebab penyakit mastitis adalah bakteri yang dapat menular dari seekor hewan ke hewan lain karena keadaan sanitasi yang kurang baik. Infeksi dapat terjadi pada satu kuartir saja yang kemudian berkembang dan bersifat patal. Mastitis pada tahap awal dapat diobati dengan menggunakan antibiotik. Antibiotik disuntikkan ke dalam kanal puting yang terinfeksi (Blakely dan David, 1991).

Kadang-kadang terjadi juga mastitis gengren di dalam kuartir yang terinfeksi. Kuartir itu lalu berwarna kehitaman dan terasa dingin bila disentuh karena berkurangnya sirkulasi darah ke daerah itu. Apabila tidak diobati maka akan berakibat fatal atau kuartir itu lama kelamaan dapat rontok. Keadaan seperti ini dianjurkan untuk melakukan amputasi atas ambing ang terserang (Blakely dan David, 1991).

Kembung.

Kembung merupakan keadaan yang tidak sehat yang menimbulkan rasa tidak nyaman dan menimbulkan kematian ternak ruminansia. Tanda-tanda kembung adalah pembengkakan dalam ukuran yang abnormal pada bagian sisi sebelah kiri dari seekor hewan. Keadaan yang parah menyebabkan tekanan pada diafragma dan paru-paru hingga menyulitkan pernapasan. Sebab tidak jelas, tetapi umumnya difahami bahwa pakan konsentrat yang terlalu banyak merupakan penyebab timbulnya kembung. Ada dua jenis kembung, yaitu bentuk gas dan bentuk gelembung gas.  Kembung yang disebabkan oleh gas dapat diatasi dengan berbagai cara seperti mengajak sapi berjalan-jalan, diberi pipa slang masuk melalui esophagus atau menusuk rumen dengan alat tertentu hingga gas keluar. Jenis kembung yang berupa gelembung dapat diatasi dengan suat zat yang dikenal sebagai surfaktan. Minyak nabati dan bahan sabun bubuk detergen juga dapat digunakan. Namun demikian yang dianjurkan adalah suatu surfaktan yang khusus seperti poloxalene. Zat itu biasanya dimasukkan lewat mulut, atau dalam keadaan terpaksa dapat disuntikkan langsung ke dalam rumen dengan menembusi dindingnya. Usaha-usaha pencegahan dapat dilakukan dengan member jerami kering sebelum sapi dilepas di padang leguminosa dengan pemberian surfaktan (Blakely dan David, 1991).

Bruselosis.

Terjadinya keguguran setelah kebuntingan 5 bulan merupakan petunjuk kunci untuk menemukan penyakit ini. Seekor sapi betina setelah keguguran masih mungkin bunting lagi, tetapi tingkat kelahirannya akan rendah dan tidak teratur. Kadang-kadang fetus yang dikandung dapat mencapai tingkatan atau bentuk yang sempurna tetapi pedet itu biasanya lahir mati dan plasentanya tetap tertahan (tidak keluar) disertai keadaan metritis. Sapi jantan juga dapat terserang penyakit ini melalui skrotum yang tampak membengkak dan berwarna merah, dengan istilah orchitis, infeksi bruselosis pada sapi jantan dapat menyebabkan keadaan steril. Baik sapi jantan maupun betina , penyebab penyakit ini adalah bakteri Brucella abortus. Vaksin Strain 19 dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit bruselosis (Blakely dan David, 1991).

Milk fever.

Masalah ini timbul pada saat atau setelah kelahiran pertama, tetapi jarang pada kelahiran kedua. Sapi betina memperlihatkan keadaan yang sangat lemah, matanya nampak galak, serta hilangnya kesadaran dengan leher atau kepala terlipat ke arah badan seperti anjing yang sedang tidur. Suhu badannya biasanya berada di bawah normal. Penyebabnya adalah defisiensi mineral kalsium yang timbul karena kebutuhan yang sangat besar akan mineral itu untuk memproduksi susu. Pengobatannya berupa penyuntikan garam kalsium secara intravenous atau penyuntikan udara ke dalam ambing guna menekan produksi susu agar kebutuhan mineral kalsium berkurang. (Blakely dan David, 1991).

 

Pengenalan Alat

Alat Identifikasi

Identifikasi tipe permanen. Identifikasi tipe permanen adalah identifikasi (tanda) yang tidak mudah rusak atau tidak mudah diubah, yang biasanya dilakukan pada sapi Ayrshire, Guernsey, dan Holstein dengan menggunakan foto atau gambar yang diberi warna. Selain itu ada yang menggunakan tato telinga untuk sapi Jersey dan Brown Swiss. Tato pada telinga untuk sapi dari kejauhan kurang menguntungkan karena kalau ingin mengetahui nomor tato tidak jelas. Untuk mengatasi nomor tato tidak jelas, sapi harus ditangkap dan telinganya harus dibersihkan dahulu. Untuk mengatasi kesulitan tersebut telah ditemukan identifikasi permanen antara lain berupa freeze branding, yaitu pemberian tanda dengan cap bernomor dari logam (tembaga) yang didinginkan dengan nitrogen cair dan dicapkan pada bagian tubuh yang berbulu gelap seperti pada Holstein yang berwarna htam. Tetapi cara tersebut kurang efektif untuk sapi yang berwarna terang (putih) (Soetarno, 2003).

Menurut Blakely dan David (1992), branding merupakan alat untuk identifikasi pada anak atau induk sapi. Ada dua macam alat branding ini yaitu hot branding dan freeze branding. Hot branding adalah pemberian cap besi panas, cap besi harus benar-benar panas, lalu ditempelkan pada tubuh ternak selama lima detik. Freeze branding menggunakan besi tembaga yang disimpan dalam es kering atau Nitrogen cair. Kulit yang akan dicap dicukur terlebih dahulu dan dicuci dengan alkohol sebelum dicap. Cap ditempelkan selama tiga puluh detik (Blakely dan Bade, 1991).

 

Alat bantu handling.

Berbagai kegiatan seperti pemotongan tanduk, vaksinasi, kastrasi, penimbangan, pembatan identifiksasi erta pengobatan terhadap sapi-sapi yang sakit memerlukan kemampuan pengendalian yang ketat terhadap tiap-tiap ekor sapi yang bersangkutan. Pada waktu dulu pengendalian ketat itu dilakukan dengan bantuan tali, seperti dalam hal menjerat sapi dalam suatu petak kandang (pen) dengan menggunakan dua tali, yang ujungnya masing-masing ditarik ke arah yang berlawanan (Blakely dan David, 1991).

Alat manipulasi reproduksi

Kastrasi dengan menggunakan pisau yang tajam telah lama dipraktekkan oleh para peternak. Skrotum terlebih dahulu dicuci dengan larutan antiseptik lalu disayat pada bagian bawah. Testikel lalu dikeluarkan dari skrotum dan salurannya diputuskan. Luka yang ditimbulkan lalu diobati untuk mencegah infeksi dan mempercepat kesembuhan (Blakely dan David, 1991).

Cara kastrasi yang lain adalah dengan menggunakan elastrator atau penjepit burdizoo. Elastrator digunakan untuk merentangkan suatu cincin karet yang kuat lalu dipasangkan pada skrotum di atas testikel. Saluran di bawah cincin itu aliran darahnya terputus hingga testikel itu tidak berfungsi. Cara kerja burdizoo juga hampir sama yaitu memutuskan saluran dengan penjepit hingga aliran darah menuju testikel terputus. Selain menggunakan pisau dan burdizoo, terdapat juga cara kimiawi yang efektif untuk kastrasi pedet jantan. Suatu preparat suntik yang nama dagangnya Chem-cast adalah suatu larutan kimia paten untuk penyuntikan langsung ke dalam testikel sapi jantan muda yang beratnya di bawah 75 kg (Blakely dan David, 1991).

 

Kesimpulan

 

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi ternak sapi perah dara maupun laktasi tergolong normal. Frekuensi respirasi rata-rata berkisar antara 24 sampai 32 kali/menit, temperatur rektal berkisar antara 380C sampai 39,20C, dan frekuensi pulsus berkisar antara 54 sampai 84 kali/menit. Kondisi lingkungan kandang kurang optimal dikarenakan suhu lingkungan kandang masih terlalu tinggi yaitu berkisar antara 210C sampai 270C dengan kelembaban udaranya sangat tinggi antara 73 sampai 77%, sehingga berpengaruh terhadap produksi susu dan tingkah laku ternak sapi perah itu sendiri. Frekuensi minum rata-rata berkisar antara 2 sampai 10 kali dengan volume minum 10 sampai 15 liter, frekuensi defekasi berkisar antara 3 sampai 5 kali dengan berat feses 6 sampai 9 kg, lama remastikasi antara 110 sampai 310 menit dengan kunyahan per bolus antara 40 sampai 70 kali, lama berbaring sapi perah berkisar antara 400 sampai 550 menit dan lama berdiri antara 190 sampai 250 menit.

 

Saran

 

Setelah melakukan praktikum, saran kami adalah sebaiknya laporan dikerjakan berkelompok karena data yang harus dikerjakan terlalu banyak sehingga kami kesulitan dalam mencari referensi sebagai pembanding data yang ada.

 

Daftar Pustaka

 

Blakely, J., dan David H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Prihadi, Sugeng. 1997. Dasar Ilmu Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Ratnawati, D., A Rasyid, L Affandy. 2007. Kinerja Produktivitas Sapi Perah Impor Dan Hasil Turunannya Di Jawa Timur : Studi Kasus Di Dataran Rendah Dan Dataran Tinggi Pasuruan. Loka Penelitian Sapi Potong. Jawa Timur.

Soeharsono. 2010. Fisiologi Ternak : Fenomena Dan Nomena Dasar, Fungsi, Dan Interaksi Organ Pada Hewan. Widya Padjadjaran. Padjadjaran.

Soetarno, Timan. 2000. Ilmu Reproduksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Soetarno, Timan. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Sudrajad, P., dan Adiarto. 2011. Pengaruh Stress Panas Terhaadap Performa Produksi Susu Sapi Friesian Holstein Di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturaden. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Yani, A., dan B.P Purwanto. 2006. Pengaruh Iklim Mikro Terhadap Respons Sapi Peranakan Fries Holland Dan Lingkungan Untuk Meningkatkan Produktivitasnya. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

Yani, A., H Suhardiyanto, R Hasbullah, B.P Purwanto. 2007. Analisis Dan Simulasi Distribusi Suhu Udara Pada Kandang Sapi Perah Menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD). Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published.