Laporan Praktikum Ilmu Ternak Perah Tingkah Laku Siang dan Tatalaksana Pemeliharaan Sapi Perah

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU TERNAK PERAH

TINGKAH LAKU (SIANG) DAN TATALAKSANA PEMELIHARAAN SAPI PERAH

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun oleh :

Kelompok X

Nurus Sobah (PT/06587)

 

 

Asisten :Dewi Wahyu Puspitasari

 

 

 

 

LABORATORIUM ILMU TERNAK PERAH DAN INDUSTRI PERSUSUAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

 

            Adanya sapi perah di Indonesia diawali sejak abad ke-17, orang Belanda membawa sapi perah Holstein dari negerinya ke Indonesia untuk kepentingan orang-orang Eropa, terutama pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Orang-orang India dan Pakistan telah lama berdagang susu diperolehnya dari sapi Zebu yang didatangkan dari negerinya. Pemerintah Indonesia mendatangkan sapi Friesian Holstein (FH) murni dari Belanda sebanyak 1000 ekor melalui PN. Perhewani, dilakukan pada tahun 1965 (Soetarno, 2000). Sapi Holstein mempunyai warna yang cukup terkenal, belang hitam-putih dan ini merupakan warna yang dominan. Warna belang hitam-putih tersebut mempunyai perbatasan yang tegas sehingga tidak ada warna bayangan, dan perbandingan antara warna hitam dan putih tidak tertentu / tidak tetap. Bulu kipas ekor, bagian perut dan kaki dari tracak sampai lutut (knee) atau (hock) berwarna putih (Prihadi, 1997).

Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan sapi perah hasil keturunan dari induk FH baik yang dikawinkan secara alamiah maupun Inseminasi Buatan (IB) dengan FH murni. Keunggulan dari sapi PFH diantaranya lebih tahan panas daripada sapi FH dan mudah menyesuaikan pada iklim tropis dengan tidak mengurangi produksi susu maksimal. Oleh karena itu sapi PFH merupakan sapi yang paling cocok untuk dibudidayakan di Indonesia (Ratnawati et.al., 2007).

Penampilan produksi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor keturunan (genetic), pakan, pengelolaan, perkandangan, pemberantasan dan pencegahan penyakit serta faktor lingkungan yang cukup dominan dalam mempengaruhi produktivitas ternak adalah iklim mikro. Iklim mikro di suatu tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara optimal. Ada empat unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak secara langsung, yaitu : suhu, kelembaban udara, radiasi dan kecepatan angin, sedangkan dua unsur lainnya yaitu evaporasi dan curah hujan mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak langsung. Interaksi keempat unsur iklim mikro tersebut dapat menghasilkan suatu indeks dengan pengaruh yang berbada terhadap ternak (Yani dan Purwanto, 2006).


 

BAB II

KEGIATAN PRAKTIKUM

 

Pengukuran Data Fisiologis dan Lingkungan

Pengukuran temperatur rektal

Pengukuran temperatur rektal ternak dilakukan dengan memasukkan thermometer yang skalanya telah dinolkan kedalam rektum kurang lebih sepertiga bagian selama 1 menit sebanyak 3 kali, kemudian hasilnya dirata-rata.

Pengukuran  frekuensi respirasi

Pengukuran frekuensi respirasi dilakukan dengan melihat kembang kempisnya perut atau dengan mendekatkan punggung telapak tangan didepan hidung ternak untuk merasakan hembusan nafas selama 1 menit sebanyak 3 kali, kemudian hasilnya dirata-rata.

Pengukuran frekuensi pulsus

Pengukuran frekuensi pulsus dilakukan dengan meraba pada arteri caudal atau coxigeal tengah dari permukaan ventral ekor sampai terasa denyutan arterinya, dilakukan selama 1 menit sebanyak 3 kali, kemudian hasilnya dirata-rata.

Pengukuran kondisi lingkungan

Pengamatan lingkungan dilakukan dengan mengukur suhu kandang dan kelembaban dengan menggunakan thermohygrometer. Hasil keduanya kemudian dicatat.

Pengamatan Tingkah Laku Sapi Perah

Lama makan dan jumlah pakan

Praktikan menimbang jumlah pakan yang diberikan pada pagi hingga sore hari kemudian menghitung jumlah pakan yang dikonsumsi dengan cara menimbang pakan yang tersisa. Jumlah pakan yang dikonsumsi adalah jumlah pakan semula dikurangi jumlah pakan hasil penimbangan. Lama makan dihitung sejak ternak mulai makan sampai ternak selesai makan. Pengamatan lama makan dan jumlah pakan yang dikonsumsi dihitung setiap 1 jam, kemudian hasil masing-masing dicatat.

Frekuensi minum dan volume air minum

Praktikan mengukur volume air yang ada di tempat minum ternak kemudian mengukur volume air yang diminum dengan cara mengukur volume air yang tersisa. Volume air yang diminum adalah volume air semula dikurangi volume air sisa / hasil pengukuran. Frekuensi minum dihitung dari berapa kali ternak minum setiap jamnya, kemudian hasil masing-masing dicatat.

Frekuensi urinasi dan volume urinasi

Ketika sapi melakukan urinasi, urine yang keluar ditampung dengan ember dan kemudian diukur volumenya, sedangkan frekuensi urinasi dihitung berapa kali ternak melakukan urinasi setiap jamnya, kemudian hasilnya dicatat.

Frekuensi defekasi dan berat defekasi

Ketika sapi melakukan defekasi, feses yang keluar ditampung dengan ember dan ditimbang beratnya, sedangkan frekuensi defekasi dihitung berapa kali ternak melakukan defekasi setiap jamnya, kemudian hasilnya dicatat.

Lama remastikasi

Waktu remastikasi dihitung sejak sapi mulai melakukan remastikasi sampai berhenti remastikasi.

Jumlah kunyahan per-bolus

Jumlah kunyahan per-bolus dihitung sejak ternak remastikasi sampai deglutisi per-bolus, dilakukan sebanyak 3 kali dan hasilnya dirata-rata kemudian dicatat.

Waktu berdiri dan lama berdiri

Waktu berdiri dicatat saat sapi mulai berdiri dan akhir berdiri dicatat saat sapi mulai berbaring, sedangkan lama berdiri dihitung sejak sapi berdiri sampai berbaring, kemudian hasilnya dicatat.

 

Waktu berbaring dan lama berbaring

Waktu berbaring dicatat saat sapi mulai berbaring dan akhir berbaring dicatat saat sapi mulai berdiri, sedangkan lama berbaring dihitung sejak sapi mulai berbaring sampai berdiri lagi, kemudian hasilnya dicatat.

Tata Laksana Pemeliharaan Sapi Perah

Identifikasi bangsa sapi perah

            Identifikasi bangsa sapi perah dilakukan dengan mengamati komposisi warna, batas warna, warna bulu kias ekor, warna lutut-kaki, warna dasar perut, warna putih di dahi, dan performa ambing.

Populasi ternak

            Populasi ternak yang ada di Unit Produksi Ternak Fakultas Peternakan UGM diketahui dengan cara menghitung jumlahnya pada sejumlah kandang yang ada mulai dari pedet jantan, pedet betina, sapi dara, dara buntng, sapi laktasi, sapi kering, calon pejantan, dan pejantan dewasa

Fisiologi kelenjar susu

Fisiologi kelenjar susu dilakukan dengan mengamati bentuk puting, panjang vena subcutaneus abdominales, konsistensi ambing, pertautan ambing, kelainan ambing, dan puting yang mati.

Pemerahan

            Pemerahan dilakukakn dengan mengamati metode pemerahan yang digunakan, produksi susu dan durasi pemerahan selama proses pemerahan yang dilakukan pada pagi dan siang hari.

Estimasi bobot badan

Estimasi bobot badan dilakukan dengan mengukur panjang badan absolut dan lingkar dada kemudian dihitung menggunakan metode Schiffer, metode Lambourne, dan metode Scroll yang sebelumnya sudah dilakukan estimasi berat badan secara visual dan kemudian dibandingkan dengan berat badan sebenarnya menggunakan Balance.

 

Estimasi umur

Estimasi umur dilakukan dengan mengamati kondisi gigi dan lingkar tanduknya kemudian diestimasi umurnya dan dibandingkan dengan umur sebenarnya.

Pakan

Pengamatan dilakukan dengan mengamati jenis pakan yang diberikan mulai dari komposisi pakan, berat pakan yang diberikan, waktu pemberian pakan dan sisa pakan yang tidak dimakan oleh sapi perah.

Fisiologi saluran pencernaan

Fisiologi saluran pencernaan dilakukan dengan mengamati alat prehension, fungsi alat prehension, tekstur alat prehension dan jenis pakan yang dikonsumsi.

Handling

Handling dilakukan dengan memasangkan halter pada sapi perah dan kemudian menuntun sapi perah tersebut.

Perkandangan

Perkandangan dilakukan dengan mengukur kemiringan lantai kandang untuk masing-masing kandang laktasi individu, kandang dara, kandang pedet, kandang pejantan dan kandang karantina dan juga mengukur panjang tempat pakan, lebar tempat pakan, tinggi tempat pakan, panjang kandang, lebar kandang, dan tinggi kandang.

Layout peternakan

Layout peternakan dilakukan dengan menggambar denah dari kandang peternakan sapi perah yang ada di Fakultas Peternakan UGM.

 

BAB III

Hasil dan Pembahasan

 

Pengukuran Data Fisiologis Dan Lingkungan Sapi Perah

Sapi Kemuning

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan data fisiologis dan lingkungan sapi perah adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Data fisiologis dan lingkungan sapi Kemuning

Pukul Frekuensi Respirasi (kali/menit) Frekuensi Pulsus (kali/menit) Temperatur Rektal (0C) Kelembaban Kandang (%) Temperatur Kandang (0C)
06.00 41,6 50,3 38,06 77 22,2
08.00 35 59 38,43 52 27,5
10.00 41,6 48,3 38,5 43 30,1
12.00 47 64,3 38,66 30 33
13.00 44 64,6 38,36 30 32,8
14.00 45 65 38,46 30 32,5
16.00 49 56 38,96 35 31,3
18.00 37,6 64,6 39 46 27,8

 

Grafik 1. Data fisiologis dan lingkungan sapi Kemuning

Tabel 2. Data fisiologis dan lingkungan sapi Kenanga

Pukul Frekuensi Respirasi (kali/menit) Frekuensi Pulsus (kali/menit) Temperatur Rektal (0C) Kelembaban Kandang (%) Temperatur Kandang (0C)
06.00 31,6 42 37,1 77 22,2
08.00 28,3 38,6 37,66 52 27,5
10.00 44,3 44,3 37,33 43 30,1
12.00 58 60,3 38,2 30 33
13.00 58,3 62 38,167 30 32,8
14.00 51 50,67 38,43 30 32,5
16.00 64,3 61,6 38,67 35 31,3
18.00 52,3 61 38,46 46 27,8

 

Grafik 2. Data fisiologis dan lingkungan sapi Kenanga

 

Tabel 3. Data fisiologis dan lingkungan sapi Edelweis

Pukul Frekuensi Respirasi (kali/menit) Frekuensi Pulsus (kali/menit) Temperatur Rektal (0C) Kelembaban Kandang (%) Temperatur Kandang (0C)
06.00 34 59 37,67 77 22,2
08.00 44,3 56 38,4 52 27,5
10.00 47 56,3 38,46 43 30,1
12.00 50,3 72 38,86 30 33
13.00 42,3 71,3 38,86 30 32,8
14.00 55,3 65 38,73 30 32,5
16.00 49 66 38,76 35 31,3
18.00 43 72 38,83 46 27,8

 

Grafik 3. Data fisiologis dan lingkungan sapi Edelweis

 

Tabel 4. Data fisiologis dan lingkungan sapi Mawar

Pukul Frekuensi Respirasi (kali/menit) Frekuensi Pulsus (kali/menit) Temperatur Rektal (0C) Kelembaban Kandang (%) Temperatur Kandang (0C)
06.00 34 71 38,03 77 22,2
08.00 30 66 37,9 52 27,5
10.00 33,67 54,67 38,63 43 30,1
12.00 32 67,33 38,6 30 33
13.00 35 63,67 38,63 30 32,8
14.00 38 74,67 38,33 30 32,5
16.00 37 70 38,33 35 31,3
18.00 37,33 68,67 37,9 46 27,8

 

Grafik 4. Data fisiologis dan lingkungan sapi Mawar

Berdasarkan data tersebut didapatkan bahwa pada pukul 12.00 ketika temperatur kandang naik menjadi 330C dan kelembabannya 30% frekuensi pulsus, frekuensi respirasi dan temperatur rektal naik drastis untuk semua nama sapi perah. Hal ini disebabkan karena pada jam 12.00 merupakan titik kritis karena pada jam 12.00 temperatur sangat tinggi yang mencapai 300C. Menurut Yani dan Purwanto (2006), pada malam hari, suhu rektal akan terus mengalami penurunan, sedangkan pada pagi sampai sore suhu rektal mengalami kenaikan. Pernyataan tersebut sudah sesuai dengan temperatur rektal dari data yang didapat meskipun temperatur rektal pada masing-masing sapi ada yg naik tetapi itu tidak begitu signifikan dan masih menunjukkan bahwa temperatur rektal terus menurun pada malam hari. Ada banyak faktor yang menyebabkan suhu tubuh sapi PFH meningkat, salah satunya adalah karena cekaman panas.  Menurut Sudrajad dan Adiarto (2011), naiknya frekuensi respirasi merupakan salah satu tanda sapi perah mengalami stres panas. Tingginya frekuensi respirasi ini terjadi karena 2 faktor penyebab, yaitu ketidaknyamanan saat datangnya petugas pengamat, dan ketidaknyamanan akibat perubahan kondisi temperatur dan kelembaban. Menurut Yani dan Purwanto (2006), peningkatan denyut jantung merupakan respon dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin. Pernapasan merupakan respons tubuh ternak unutk membuang atau mengganti panas dengan udara sekitarnya. Jika kedua respo tersebut tidak berhasil, maka suhu organ tubuh ternak akan meningkat sehingga ternak akan mengalami cekaman panas.

Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklm yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Yani dan Purwanto ,2006). Menurut Yani et.al., (2007), sapi bangsa Friesian Holstein (FH) yang ada di Indonesia didatangkan dari negara-negara Eropa yang memiliki iklim sedang (temperate) dengan kisaran suhu rendah berkisar 5 sampai 250C, sehingga sangat peka terhadap perubahan iklim mikro (suhu dan kelembaban udara). Apabila sapi FH ditempatkan pada lokasi yang memiliki suhu tinggi dan kelembaban udara yang tidak mendukung maka sapi tersebut akan mengalami cekaman panas yang berakibat pada menurunnya produktivitas sehingga potensi genetiknya tidak dapat tampil secara optimal. Sapi-sapi perah di daerah subtropis temperatur ideal adalah antara 30-60 (-1,110 sampai 15,560C) dengan kelembaban udara rendah (<80%) dan temperatur kritis sekitar 80-850F (26,670 sampai 29,440C). Apabila temperatur udara naik di atas 600F yaitu sampai temperatur 800F pengaruhnya terhadap produksi susu setiap individu adalah kecil (Soetarno, 2000). Hal tersebut menunjukkan bahwa temperatur kandang dan kelembaban kandang sangat mempengaruhi kepada frekuensi respirasi, frekuensi pulsus dan temperatur rektal.

Pengamatan Tingkah Laku Sapi Perah

Frekuensi dan volume minum.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan data frekuensi minum dan volume minum sapi PFH sebagai berikut :

Tabel 5. Data hasil pengamatan minum sapi perah

Waktu Frekuensi minum (kali) Volume minum (ml)
Kemuning Kenanga Edelweis Mawar Kemuning Kenanga Edelweis Mawar
06.00-07.00 1 2 3600 7200
07.00-08.00 1 3 3600 7200
08.00-09.00 3 2 14400 7200
09.00-10.00
10.00-11.00 1 1 12600
11.00-12.00 1 6 3 14400 21600 3600
12.00-13.00 1 1 2 3600 3600 12600
13.00-14.00 1 3 5 1 7200 12600 3600 1800
14.00-15.00 3 3 1 2 14400 12600 14400
15.00-16.00 5 5 1 18000 16200 1800
16.00-17.00 2 5 1 1 8200 18000 3600
17.00-18.00 3 1 3600 14400 1800
Total 9 31 20 14 64000 118800 43200 46800

Dari data hasil pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa frekuensi minum sapi Kemuning selama 12 jam (06.00 sampai 18.00) sebanyak 9 kali minum, sapi Kenanga sebanyak 31 kali, sapi Edelweis sebanyak 20 kali, dan sapi Mawar  sebanyak 14 kali minum. Mulai pukul 11.00 semua sapi lebih banyak minum, hal ini disebabkan pada pukul tersebut temperatur kandang sampai pada puncaknya. Menurut Yani dan Purwanto (2006), konsumsi air minum sapi perah dewasa pada lingkungan nyaman sekitar 3 sampai 3,5 liter/kilogram bahan kering dan akan meningkat pada kondisi cekaman panas. Pada kondisi tidak nyaman dengan suhu lingkungan malam hari sekitar 240C dan siang hari sekitar 33,340C, sapi dara mengkonsumsi air minum sebanyak 10,58 sampai 12,76% dari bobot badan.

Frekuensi dan volume urinasi.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan data frekuensi urinasi dan volume urin sapi PFH sebagai berikut :

 

Tabel 6. Data hasil pengamatan frekuensi urinasi dan volume urin

Waktu Frekuensi Urinasi (kali) Volume Urin (ml)
Kemuning Kenanga Edelweis Mawar Kemuning Kenanga Edelweis Mawar
06.00-07.00 1 1 1220 4000
07.00-08.00 2 1 1 6400 3300 880
08.00-09.00 1 1 250 3400
09.00-10.00
10.00-11.00 1 1 9300 1800
11.00-12.00 1 1 7200 910
12.00-13.00 1 1 1 3900 3300
13.00-14.00 1 1 1 1 4900 5700 1500 4150
14.00-15.00 1 1 1 4800 800 2450
15.00-16.00 1 1 1 5200 5200 200
16.00-17.00 1 1 3800 900
17.00-18.00 1 1 1 4160 1100 3600
Total 8 6 10 5 64000 28500 9560 17600

 

Dari data hasil pengamatan tersebut dapat diketahui volume urinasi sapi Kemuning selama 12 jam ialah 64 liter, sapi Kenanga sebanyak 28,5 liter, sapi Edelweis sebanyak 9,56 liter, dan sapi Mawar sebanyak 17,6 liter. Menurut Soeharsono (2010), total output urine pada sapi yang tidak sedang laktasi adalah 7 liter sedangkan untuk yang sedang laktasi adalah 11 liter.

Frekuensi dan volume defekasi.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan data frekuensi defekasi dan volume feses sapi PFH sebagai berikut :

 

Tabel 7. Data hasil pengamatan frekuensi defekasi dan volume feses

Waktu Frekuensi Defekasi (kali) Volume Feses (kg)
Kemuning Kenanga Edelweis Mawar Kemuning Kenanga Edelweis Mawar
06.00-07.00 1 2
07.00-08.00 1 1 1 1 5 2 1 2
08.00-09.00
09.00-10.00
10.00-11.00 1 1 1 5 3 2
11.00-12.00 1 1 3 2,5
12.00-13.00 2 1 3,7 2
13.00-14.00 1 1 1 5,7 1 2
14.00-15.00
15.00-16.00 1 1 1 1 2,5 3 1 2
16.00-17.00 1 1 1 2,5 3 1
17.00-18.00 1 1 1 2,5 2 2
Total 9 5 7 5 26,9 14 12 10,5

 

Dari data hasil pengamatan tersebut dapat diketahui volume urinasi sapi perah selama 12 jam (06.00 sampai 18.00) adalah pada Kemuning 26,9 kg, Kenanga sebanyak 14 kg, Edelweis sebanyak 12 kg, dan Mawar sebanyak 10,5 kg.  Menurut Soeharsono (2010), total output feces untuk sapi yang tidak sedang laktasi adalah 12 liter sedangkan untuk sapi yang sedang laktasi sebanyak 19 liter.

Lama berbaring.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan data lama berbaring sapi PFH sebagai berikut :

 

Tabel 8. Data hasil pengamatan waktu berbaring sapi

Waktu Waktu berbaring sapi (menit)
Kemuning Kenanga Edelweis Mawar
06.00-07.00 60 18
07.00-08.00
08.00-09.00 98 11 144
09.00-10.00 60 65
10.00-11.00 24
11.00-12.00 75 5 40
12.00-13.00 32 70
13.00-14.00 24 20
14.00-15.00
15.00-16.00 10
16.00-17.00 38 19 22 49
17.00-18.00 20 11 28 10
Total 315 145 215 271

 

Dari data hasil praktikum tersebut dapat diketahui bahwa lama berbaring sapi-sapi tersebut selama 12 jam (06.00 sampai 18.00) adalah pada sapi Kemuning selama 315 menit, sapi Kenanga selama 145 menit, sapi Edelweis selama 215 menit, dan sapi Mawar selama 271 menit.

Jenis pakan, jumlah pakan, dan lama makan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan data pakan yang diberikan sapi PFH sebagai berikut :

 

Tabel 9. Data pakan yang diberikan pada sapi perah

Waktu Pakan yang diberikan (kg)
Kemuning Kenanga Edelweis Mawar
Hijauan Konsentrat Hijauan Konsentrat Hijauan Konsentrat Hijauan Konsentrat
06.00-07.00
07.00-08.00 19,5 19,5 6,5 6,5
08.00-09.00
09.00-10.00
10.00-11.00 20 20 14 14
11.00-12.00
12.00-13.00
13.00-14.00 10 10 6,5 6,5
14.00-15.00
15.00-16.00 20 20 14 14
16.00-17.00
17.00-18.00 3 3
Total 43 29,5 43 29,5 28 13 28 13

 

 

Tabel 10. Data pakan yang dikonsumsi pada sapi perah

Waktu Pakan yang dikonsumsi (kg)
Kemuning Kenanga Edelweis Mawar
Hijauan Konsentrat Hijauan Konsentrat Hijauan Konsentrat Hijauan Konsentrat
06.00-07.00
07.00-08.00 19,5 19,5 6,5 6,5
08.00-09.00
09.00-10.00
10.00-11.00 20 20 14 14
11.00-12.00
12.00-13.00
13.00-14.00 10 10 6,5 6,5
14.00-15.00
15.00-16.00 20 20 14 14
16.00-17.00
17.00-18.00 3 3
Total 43 29,5 43 29,5 28 13 28 13

 

 

Tabel 11. Data lama makan sapi perah

Waktu Lama makan sapi (menit)
Kemuning Kenanga Edelweis Mawar
06.00-07.00
07.00-08.00 40 40 40 21
08.00-09.00
09.00-10.00
10.00-11.00 40 66 38 56
11.00-12.00
12.00-13.00
13.00-14.00 75 40 25 13
14.00-15.00
15.00-16.00 35 32 53 35
16.00-17.00 15
17.00-18.00 15 18
Total 235 196 156 125

 

Dari data tersebut didapatkan bahwa jenis pakan yang diberikan berupa hiajuan dan konsentrat. Untuk hijauan pada sapi laktasi diberikan sebanyak 43 kg yang masing-masing pada pukul 10.00 sampai 11.00 sebanyak 20 kg, pukul 15.00 sampai 16.00 sebanyak 20 kg, dan pada pukul 17.00 sampai 18.00 sebanyak 3 kg. Sedangkan untuk sapi dara hijauan yang diberikan sebanyak 28 kg dengan masing-masing pada pukul 10.00 sampai 11.00 sebanyak 14 kg, dan pada pukul 15.00 sampai 16.00 sebanyak 14 kg. Sedang untuk pakan konsentratnya, pada sapi laktasi diberikan sebanyak 29,5 kg dengan masing-masing pada pukul 07.00 sampai 08.00 sebanyak 19,5 kg dan pada pukul 13.00 sampai 14.00 sebanyak 10 kg. Untuk sapi dara, konsentrat yang diberikan sebanyak 13 kg dengan masing-masing pada pukul 07.00 sampai 08.00 sebanyak 6,5 kg dan pada pukul 13.00 sampai 14.00 sebanyak 6,5 kg. Menurut Soetarno (2000), bagi sapi-sapi yang kering atau produksi rendah cukup diberi hijauan. Tetapi bagi sapi-sapi yang berproduksi tinggi pakan yang demikian kurang cukup untuk memberi energi guna mencapai produksi yang tinggi. Karena sapi hanya diberi hijauan produksi tertinggi tidak akan dapat diharapkan, tetapi kadang-kadang kenaikan produksi dengan pemberian pakan konsentrat tidak cukup untuk menutup harga pakan tambahan tersebut. Dalam keadaan demikian pemberian pakan konsentrat dianggap kurang ekonomis. Ada kalanya produksi yang tinggi diperoleh meskipun sapi hanya diberi pakan hijauan saja, tetapi biasanya produksinya tidak akan sebanyak apabila diberi pakan konsentrat.

Cara memberi pakan “tantangan” yaitu dua atau tiga minggu sebelum beranak berilah konsentrat sebanyak 1,5 kg perhari. Kemudian tambahkan 0,5 kg konsentrat setiap harinya sampai sapi mengkonsumsi 1,0 sampai 1,5 kg konsentrat per 100 kg berat badan sapi. Jadi untuk sapi seberat 500 kg memerlukan 5 sampai 8 kg konsentrat perhari. Pemberian konsentrat sebelum beranak akan memberikan kesempatan pada sapi beranak atau kenaikan energi yang dimakan. Setelah sapi beeranak, tambahkan konsentrat sampai sapi mencapai produksi susu maksimum, hal ini dapat dicapai kira-kira dalam waktu 3 sampai 6 minggu setelah sapi beranak. Setelah sapi beranak 3 sampai 6 minggu, sesuaikan pemberian konsentrat menurut produksinya. Untuk sisa masa laktasi, sesuaikan pemberian jumlah konsentrat menurut berat susu yang dihasilkan tiap bulannya dengan menambah konsentrat 0,5 kg sampai hasil produksi susu tambahan tidak dapat menutup harga konsentrat (Soetarno, 2000).

Lama remastikasi dan kunyahan per bolus.

Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan data lama remastikasi dan rata-rata kunyahan per bolus sapi perah sebagai berikut :

 

Tabel 12. Data lama remastikasi sapi perah

Waktu Total menit Kunyahan per bolus (kali/menit)
Kemuning Kenanga Edelweis Mawar Kemuning Kenanga Edelweis Mawar
06.00-07.00 20 15 46,73 36,3 30,3
07.00-08.00 7 38,33
08.00-09.00 33 10 51 56,3 30,6
09.00-10.00
10.00-11.00 49 52 50,6
11.00-12.00 25 38,6 26,3
12.00-13.00 65 20 34 36,3 26,67
13.00-14.00 43 22 53,33
14.00-15.00 33,67
15.00-16.00 12 31,3
16.00-17.00 30 23 132 45,33 31,6
17.00-18.00 10 38,3 27,67
Total 155 112 95 321 205,56 187,96 174,1 144,61

 

Dari data hasil praktikum tersebut dapat diketahui bahwa lama berbaring sapi-sapi tersebut selama 12 jam (06.00 sampai 18.00) adalah pada sapi Kemuning adalah 155 menit, sapi Kenanga 112 menit, sapi Edelweis 95 menit dan sapi Mawar 321 menit dengan kunyahan bolus rata-rata masing-masing sapi perah yaitu 51 kali, 37 kali, 34 kali dan 29 kali. Menurut Soeharsono (2010), begitu makanan sampai di dalam mulut, terjadi proses pengunyahan atau remastikasi. Proses ini sama seperti pada proses mastikasi, akan tetapi proses remastikasi atau pengunyahan kembali ini lebih lama dibandingkan dengan sewaktu mastikasi. Rahang bergerak pada gerakan ventrolateral menggiling, dan tiap bolus dikunyah antara 30 sampai 35 kali dan yang paling sering antara 50 sampai 70 kali dengan rata-rata gerakan rahang 56,4 kali. Jumlah gerakan ini bergantung kepada jenis makanan yang dikonsumsi. Makanan yang banyak mengandung serat kasar dikunyah lebih lama daripada yang sedikit mengandung serat kasar.

Tata laksana pemeliharan sapi perah

Identifikasi bangsa sapi perah

Sapi Holstein mempunyai warna yang cukup terkenal, belang hitam-putih dan ini merupakan warna yang dominan. Warna belang hitam-putih tersebut mempunyai perbatasan yang tegas sehingga tidak ada warna bayangan, dan perbandingan antara warna hitam dan putih tidak tertentu / tidak tetap. Bulu kipas ekor, bagian perut dan kaki dari tracak sampai lutut (knee) atau (hock) berwarna putih (Prihadi, 1997).

Menurut Prihadi (1997), pada bangsa sapi Holstein murni dianggap cacat warna apabila ditemui sapi tersebut berwarna hitam atau putih mulus, ada warna hitam pada bulu kipas ekor, warna hitam pada bagian perut, ada warna hitam pada kaki dari kuku/tracak sampai knee atau hock, pada batas warna hitam dengan putih terdapat warna bayangan (gabungan antara warna hitam dengan putih).

Populasi ternak

Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan data jumlah populasi ternak sapi perah sebagai berikut :

 

Tabel 13. Populasi ternak sapi perah

No Komposisi Jumlah
1 Pedet Jantan 5
2 Pedet Betina 3
3 Sapi Dara 12
4 Dara Bunting 1
5 Sapi Laktasi 9
6 Sapi Kering 2
7 Calon Pejantan
8 Pejantan Dewasa 1
Total 30

 

Dari data tersebut diketahui bahwa jumlah populasi ternak sapi perah di Fakultas Peternakan UGM sebanyak 30 ekor yang terdiri dari 5 ekor pedet jantan, 3 ekor pedet betina, 12 ekor sapi dara, 1 ekor dara bunting, 9 ekor sapi laktasi, 2 ekor sapi kering, dan 1 ekor calon pejantan.

Fisiologi kelenjar susu

Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan data fisiologi kelenjar susu sapi perah sebagai berikut :

Tabel 14. Fisiologi kelenjar susu

Bagian Kemuning Kenanga Edelweis Mawar
Bentuk Puting Panjang Pendek Pendek Silindris
Panjang vena subcutaneus abdominalis Kiri 48

Kanan 46

Kiri 43

Kanan 46

Kiri 31

Kanan 32

Konsistensi Ambing Kelenjar Kelenjar Kelenjar Kelenjar
Pertautan Ambing Kuat Kuat Kuat Kuat
Kelainan Ambing Normal Normal Normal Normal
Puting Yang Mati

 

Dari data tersebut diperoleh bahwa bentuk puting sapi bermacam-macam, ada yang panjang, pendek, dan silindris. Sedangkan untuk panjang vena subcutaneus abdominalis pada sapi Mawar tidak dilakukan pengukuran dikarenakan sapi Mawar terlalu agresif sehingga tidak diukur karena untuk menjaga keselamatan praktikan. Menurut Murti (2010), ternak ruminansia besar bisa berbeda dengan ruminansia kecil dalam jumlah bagian ruangan (bilik) ambingnya. Ruminansia besar (sapi dan kerbau) mempunyai 4 bilik ambing, sedang ruminansia kecil hanya 2 bilik. Kondisi ini tentunya berpengaruh jumlah normal puting susunya.Ambing ternak besar mungkin bisa mencapai berat 50 kg tergantung besar kecilnya ternak. Kuartir belakang umumnya berukuran lebih besar daripada kuartir depan, dan menghasilkan rata-rata 60% dari total produksi susu. Ambing yang baik dan diharapkan oleh pemiliknya adalah terikat baik pada tubuh ternaknya dan putingnya terlihat secara simetris dilihat dari kedudukannya. Ambing yang menggantung (pendulous) mudah terluka dan sulit untuk diperah. Letak puting dan dengan ukuran yang juga tidak terlalu tinggi dan besarnya mempengaruhi saat dan tingkat efisiensi pemerahan. Bagaimanapun puting bervariasi dalam bentuk dan ukuran, dan tidak seperti ambing, maka puting tidak berambut.

Estimasi bobot badan

Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan data estimasi bobot badan sapi perah sebagai berikut :

Tabel 15. Data estimasi bobot badan

Parameter Kemuning Kenanga Edelweis Mawar
Lingkar dada (cm) 201 196 192 201
Panjang badan absolut (cm) 135 136 97 136
Metode Schiffer 1163,59 605,2 193,27 2747
% kesalahan 102,36% 21,04%    
Metode Lambourne 504,14 481,972 234,784 506,876
% kesalahan 57,1% 3,6%    
Metode Schrool 497,29 475,24 338,56 497,29
% kesalahan 13,52% 4,9%    
Estimasi secara visual 470 600 220 700
Berat badan sebenarnya 576 500    

 

Dari data tersebut diketahui bahwa lingkar dada pada sapi Kemuning adalah 201 cm, sapi Kenanga 196 cm, sapi Edelweis 192, dan sapi Mawar 201 cm. Untuk panjang badan absolut pada sapi Kemuning adalah 135 cm, sapi Kenanga 136 cm, sapi Edelweis 97 cm, dan sapi Mawar 136 cm. Dari hasil perhitungan menggunakan metode Schiffer, metode Lambourne, dan metode Schrool, hasil yang mendekati aslinya adalah dengan metode Schrool dengan persentase kesalahan 4,9%.

Menurut Murti (2010), cara mengukur berat badan sapi, yakni :

  • Rumus W (kg) = (L x G2) dibagi 10840

L adalah panjang badan horizontal dalam cm.

G adalah lingkar dada dalam cm.

  • Rumus W (kg) = (G + 22)2 dibagi 100

Kesalahan cara ini sampai 22,5%

Estimasi umur

Berdasarkan data yang diperoleh dari praktikum tersebut menunjukkan bahwa umur untuk sapi yang diamati adalah berkisar 4 tahun karena kondisi giginya sudah menunjukkan poel 4 dan terdapat 2 lingkar tanduk. Menurut Murtidjo (1990), pada prinsipnya, taksiran dengan metode gigi sapi adalah memperhitungkan pertumbuhan, penggantian, dan keausan gigi sapi. Pertumbuhan gigi sapi sendiri terbagi tiga periode, yakni : periode gigi susu, periode penggantian gigi susu menjadi gigi tetap, serta periode keausan gigi tetap.

Menurut Murtidjo (1990), sapi yang memiliki gigi susu semua pada rahang bawah, mempunyai usia sekitar kurang dari 1,5 tahun. Sapi yang memiliki gigi tetap sepasang pada rahang bawah, mempunyai usia sekitar dari 2 tahun. Sapi yang memiliki gigi tetap dua pasang pada rahang bawah, mempunyai usia sekitar dari 3 tahun. Sapi yang memiliki gigi tetap tiga pasang pada rahang bawah, mempunyai usia sekitar dari 3,5 tahun. Sapi yang memiliki gigi tetap empat pasang pada rahang bawah, mempunyai usia sekitar dari 4 tahun. Sapi yang memiliki gigi tetap lengkap empat pasang pada rahang bawah, tapi 25% bagian telah aus, mempunyai usia sekitar dari 6 tahun. Sapi yang memiliki gigi tetap lengkap empat pasang pada rahang bawah, tapi 50% bagian telah aus, mempunyai usia sekitar dari 7,5 tahun. Sapi yang memiliki gigi tetap lengkap empat pasang pada rahang bawah, tapi 75% bagian telah aus, mempunyai usia sekitar dari 8 tahun. Sapi yang memiliki gigi tetap lengkap empat pasang pada rahang bawah, tapi semuanya telah aus, mempunyai usia di atas 8 tahun.

Pada prinsipnya, taksiran dengan metode lingkar tanduk sapi, adalah perhitungan berdasarkan pada tumbuhnya tanduk sapi, dan pertumbuhan selanjutnya setelah gigi susu rahang bawah berganti semua. Sejak usia 6 bulan, tanduk sapi normal akan tumbuh dan secara bertahap pada dasar tanduk akan terlihat lingkaran-lingkaran yang mengelilingi. Pada sapi betina yang secara teratur melahirkan, dapat dilihat dengan jelas pertumbuhan tanduknya. Sapi normal beranak 1 tahun sekali. Maka pedoman memberi taksiran usia sapi betina dewasa adalah banyaknya lingkaran pada tanduk ditambah 4 tahun. Namun untuk pejantan, dapat dihitung jumlah lingkaran pada tanduk ditambah 5 tahun. Taksiran dengan metode lingkar tanduk hanya bisa dilakukan untuk sapi dewasa. Maka perlu dilengkapi dengan taksiran metode gigi sapi (Murtidjo, 1990).

Perkandangan

Pada usaha sapi perah non pasutra, kandang memegang posisi penting untuk mengurangi ongkos tenaga kerja ketika mengelola usaha dengan mudah dan menjaga peralatan sehingga efisien untuk produksi susu. Beberapa faktor yang turut menentukan ukuran, type dan penggunaan kandang antara lain ukuran nyata dari kelompok sapi perah dan rencana ekspansi, kemiringan, pengaliran, dan penampakan sisi bangunan, kondisi iklim, ukuran dan produktivitas usaha, modal yang tersedia, aturan sanitasi dan aturan perdagangan susu, aturan pembangunan bangunan di wilayah itu, dan kesukaan personel. (Murti, 2007)

Norma dimensi kandang :

  1. Kandang tertutup.
  • Kandang individu pedet
  • Kandang individu dengan atap : 125 x 120 cm
  • Kandang individu dalam kandang : 150 x 100 cm
  • Kandang dara
  • Individu : 160 x 100 cm
  • Boks kolektif : 2 sampai 2,5 m2/dara
  1. Dara pengganti
Umur (bulan) Kandang jerami 100%
m2/dara m2 jerami
6 – 12 3 – 3,5 2,5
12 – 18 3,5 – 4 3
18 – 24 4 – 5 4
≥ 24 5 – 6 4,5

 

  1. Sapi laktasi

Kandang tertutup, kepala ke kepala dengan lajur bebas untuk hijauan lebar 260 sampai 280 cm.

Kandang                   : panjang 170 sampai 180 cm, lebar 110 sampai 120 cm.

Tempat minum         : kedalaman 15 sampai 25 cm, lebar 50 sampai 55 cm.

Selokan kencing     : kedalaman 80 cm, lebar 80 cm.

Couloir (untuk tempat minum) lebar 120 sampai 150 cm.

  1. Kandang bebas dengan sekat

Jumlah sekat sama dengan jumlah sapi perahnya. Dimensi tiap sekat kandang :

  • Panjang             : ras sapi kecil/muka ke muka = 220 cm

ras sapi besar/muka ke dinding = 230 sampai 250 cm.

  • Lebar : 115 sampai 120 cm.
  • Tinggi pemisah : 110 sampai 120 cm untuk elemen tertinggi, 40 cm untuk elemen rendah.
  • Couloir antara 2 lajur sekat : 240 sampai 260 cm.
  • Couloir pakan dengan tempat pakan : 320 sampai 400 cm.
  • Panjang kotak untuk hijauan : 70 sampai 75 cm.

(Murti, 2010).

 

Daftar Pustaka

 

Murti, Tridjoko Wisnu. 2007. Ilmu Ternak Perah (Dairy Science). Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Murti, Tridjoko Wisnu.2010. Ilmu Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Murtidjo, Bambang Agus. 1990. Sapi Potong. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Prihadi, Sugeng. 1997. Dasar Ilmu Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Ratnawati, D., A Rasyid, L Affandy. 2007. Kinerja Produktivitas Sapi Perah Impor Dan Hasil Turunannya Di Jawa Timur : Studi Kasus Di Dataran Rendah Dan Dataran Tinggi Pasuruan. Loka Penelitian Sapi Potong. Jawa Timur.

Soeharsono. 2010. Fisiologi Ternak : Fenomena Dan Nomena Dasar, Fungsi, Dan Interaksi Organ Pada Hewan. Widya Padjadjaran. Padjadjaran.

Soetarno, Timan. 2000. Ilmu Reproduksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Soetarno, Timan. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Sudrajad, P., dan Adiarto. 2011. Pengaruh Stress Panas Terhaadap Performa Produksi Susu Sapi Friesian Holstein Di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturaden. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Yani, A., dan B.P Purwanto. 2006. Pengaruh Iklim Mikro Terhadap Respons Sapi Peranakan Fries Holland Dan Lingkungan Untuk Meningkatkan Produktivitasnya. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

Yani, A., H Suhardiyanto, R Hasbullah, B.P Purwanto. 2007. Analisis Dan Simulasi Distribusi Suhu Udara Pada Kandang Sapi Perah Menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD). Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published.