Laporan Praktikum Bahan Pakan dan Formulasi Ransum
LAPORAN PRAKTIKUM
BAHAN PAKAN DAN FORMULASI RANSUM
Disusun oleh :
Nurus Sobah
13/349268/PT/06587
Kelompok VII
Asisten : Meita Puspa Dewi
LABORATORIUM TEKNOLOGI MAKANAN TERNAK
BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak baik yang berupa bahan organik maupun anorganik yang sebagian atau semuanya dapat dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak. Bahan pakan merupakan salah satu faktor yang paling penting untuk menunjang kehidupan ternak dalam melakukan semua proses metabolisme dalam tubuh, mulai dari sistem digesti, respirasi, sirkulasi, pertumbuhan dan perkembangan, sistem hormon, sistem limfoid dan syaraf, sistem gerak, sistem kekebalan tubuh (imun), ekskresi maupun reproduksi.
Pakan digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak yang nantinya akan berpengaruh pada produktivitas ternak serta pertumbuhan dan perkembangan ternak. Pakan yang dibutuhkan harus memiliki kualitas baik yaitu pakan yang mengandung seluruh nutrien yang dibutuhkan oleh ternak. Kandungan nutrisi dari suatu bahan pakan dapat diketahui melalui beberapa analisis bahan pakan salah satunya yaitu analisis proksimat. Bahan pakan perlu dianalisa kandugan nutrienya. Ada beberapa metode analisa yang digunakan menentukan kandungan bahan pakan. Metode yang sering digunakan adalah metode analisis proksimat. Disebut analisis proksimat karena nilai yang diperoleh mendekati nilai komposisi yang sebenarnya.
Analisis proksimat adalah suatu metode analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan dari bahan pakan atau pangan. Komponen fraksi yang dianalisis masih mengandung komponen-komponen lain dengan jumlah yang sangat kecil, yang seharusnya tidak masuk ke dalam fraksi yang dimaksud, itulah sebabnya mengapa hasil analisis proksimat menunjukkan angka yang mendekati angka fraksi atau nilai sesungguhnya.
Tujuan dari praktikum bahan pakan dan formulasi ransum adalah untuk mengetahui kandungan nutrien dari sampel bahan pakan dengan menggunakan metode analisis proksimat. Manfaat yang dapat diperoleh dari praktikum bahan pakan dan formulasi ransum adalah dapat mempraktikkan secara langsung prosedur analisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutrien dari suatu sampel atau bahan pakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan pakan atau dulu disebut bahan makanan ternak (feed) adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, tanpa mengganggu kesehatan pemakannya, dan bermanfaat bagi pemakannya (Utomo et al., 2008). Bahan pakan adalah suatu bahan yang dapat dimakan oleh hewan ternak yang mengandung energi dan zat-zat gizi (atau keduanya) yang dibutuhkan tubuh ternak (Hartadi et al., 1997). Kamal (1994), menyatakan bahwa bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, dapat diabsorbsi, bermanfaat bagi ternak dan tidak menganggu kesehatan ternak tersebut. Kualitas bahan pakan ditentukan oleh kandungan nutrien atau komposisi kimianya.
Bahan pakan dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu air dan bahan kering. Bahan kering dibagi menjadi bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik terdiri dari karbohidrat, lipida, protein dan vitamin. Bahan organik hanya terdiri mineral (Tillman et al., 1998). Komposisi susunan kimia dan kegunaannya suatu bahan pakan dapat diketahui dengan dilakukan analisis kimia yang disebut analisis proksimat. Cara ini dikembangkan dari Weende Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, dengan menggolongkan komponen bahan pakan yang ada pada makanan. Metode analisis proksimat ini, komponen bahan pakan dapat dikelompokkan dalam bahan kering (dry matter), abu (ash), ekstrak ether, serat kasar (crude fibre), protein kasar (crude protein), dan ekstrak tanoa nitrogen (ETN) (Utomo et al., 2008).
Berdasarkan sifat karakteristik fisik dan kimia serta penggunaannya, bahan pakan dibagi menjadi 8 klas : Klas 1 adalah hijauan kering (dry forages) dan jerami (roughages) yaitu semua hijauan , jerami serta produk lain yang serat kasar >18%, dinding sel >35%, contohnya hay (hijauan kering), jerami padi, stover, sekam, daging buah (pod). Klas 2 adalah pasture (tanaman padangan) yaitu semua hijauan (forages) yang diberikan segar dipotong atau tidak, contohnya rumput gajah, rumput raja, daun lamtoro, daun turi, daun nangka, ketela pohon. Klas 3 silage (silase) yaitu semua silage yang berasal dari hijauan (rumput, tanaman jagung dan sebagainya), tidak termasuk seilage umbu, silage bebijian, dan silage ikan. Klas 4 adalah sumber energi yaitu bahan pakan yang mengandung serat kasar <18%, dinding sel <35%, dan protein kasar <20%, contohnya bebijian, umbi. Kekacangan, hasil ikutan industri pertanian (dedak halus, onggok, dan tetes). Klas 5 adalah sumbeer protein yaitu bahan pakan yang mengandung serat kasar <18%, dinding sel <35%, dan protein kasar ≥20%, contohnya biji legume, bungkil, bahan pakan asal hewan dan ikan. Klas 6 adalah sumber mineral yaitu bahan pakan yang digunakan sebagai sumber mineral, contohnya batu kapur, tepung tulang. Klas 7 sumber vitamin, termasuk hasil peragian. Klas 8 adalah additive yaitu bahan tambahan, contohnya hormon, pewarna, obat-obatan, antibiotik (Utomo et al,. 2008).
Nangka (Artocarpus heterophyllus) merupakan tanaman buah yang populer yang banyak ditanam di Thailand dan daerah tropis lainnya. Buah yang matang banyak mengandung daging buah warna kuning dengan rasa manis dan terdapat biji di dalamnya. Benih nangka berukuran 10 sampai 15% dari total buah dan memiliki karbohidrat dan protein tinggi (Tulyathan et al., 2001). Nangka merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di iklim tropis. Tanaman ini menyukai wilayah dengan curah hujan lebih dari 1500 mm per tahun dimana keringnya tidak terlalu keras. Pohon tinggi 20 sampai 30m, permukaan batang kasar, diameter kurang lebih 80cm, bergetah putih, kayunya bagian dalam berwarna kekuningan. Daun nangka berbentuk bulat telur dan panjang, tepinya rata, tumbuh secara berselang-seling, dan bertangkai pendek. Permukaan atas daun berwarna hijau tua mengilap, kaku, dan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Di daerah aslinya, nangka tumbuh di hutan-hutan selalu hijau pada ketingiian 400 sampai 1200m. Namun pertumbuhannya dapat berlangsung dengan baik pada daerah beriklim hangat dan lembab pada ketinggian di bawah 1000 mdpl dan dengan curah hujan 1500 mm atau lebih. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah dan dengan ditanam pada kedalaman yang cukup, memiliki drainase yang baik, pada tanah berpasir atau tanah liat dengan pH tanah 6,0 sampai 7,5 (Rukmana, 1997). Klarifikasi tumbuhan nangka, sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatopyta
Kelas : Dicotyledone
Ordo : Morales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus heterophyllus
Daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam) mengandung saponin, flavonoid, dan tanin, pada buah nangka yang masih muda dan akarnya mengandung saponin. Senyawa saponin, flavonoid, dan tannin dapat bekerja sebagai antimikrobia dan merangsang pertumbuhan sel baru. Senyawa saponin akan merusak membran sitoplasma dan membunuh sel bakteri. Senyawa flavonoid mekanisme kerjanya mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi (Pelczar , 1998 dalam Hamzah, 2013). Sasongko et al., (2010) menyatakan bahwa daun nangka banyak mengandung tanin. Hal tersebut diperkuat oleh Kurniawati (2008) dalam Sasongko et al., (2010), bahwa setelah dilakukan penentuan kadar tanin pada beberapa hijauan pakan yang belum banyak dikenal dengan menggunakan metode total phenol dan total tanin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar total tanin pada daun nangka relatif tinggi dibandingkan dengan hijauan pakan lainnya.
Keberadaan tanin di sisi lain berdampak positif jika ditambahkan pada pakan yang tinggi akan protein baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan protein yang berkualitas tinggi dapat terlindungi oleh tanin dari degradasi mikroorganisme rumen sehingga lebih tersedia pada saluran pencernaan pasca rumen. Kompleks ikatan tanin-protein kemudian dapat lepas pada pH rendah di abomasum dan protein dapat didegradasi oleh enzim pepsin sehingga asam-asam amino yang dikandungnya tersedia bagi ternak. Hal ini menjadikan tanin sebagai salah satu senyawa untuk memanipulasi tingkat degradasi protein dalam rumen (Jayanegara dan Sofyan, 2008).
BAB III
MATERI DAN METODE
Materi
Pengamatan fisik
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum pengamatan fisik adalah lembar kerja praktikum dan alat tulis.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum pengamatan fisik adalah daun nangka (Artocarpus heterophyllus).
Penetapan kadar air
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum penetapan kadar air adalah silica disk, desikator, tang penjepit, oven pengering (105 sampai 110oC), dan timbangan analitik.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum penetapan kadar air adalah daun nangka (Artocarpus heterophyllus).
Penetapan kadar abu
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum penetapan kadar abu adalah silica disk, desikator, tang penjepit, oven pengering (105 sampai 110oC), tanur (550 sampai 600oC), dan timbangan analitik.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum penetapan kadar abu adalah Artocarpus heterophyllus.
Penetapan kadar serat kasar
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum penetapan kadar serat kasar adalah beaker glass 600 ml, pemanas, saringan linen, serat gelas (glass wool), alat penyaring crucible, gelas arloji, tang penjepit, desikator, oven pengering (105 sampai 110oC), tanur (550 sampai 600oC), dan timbangan analitik.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum penetapan kadar serat kasar adalah Artocarpus heterophyllus, H2SO4 1,25%, NaOH 1,25%, dan etil alkohol 95%.
Penetapan kadar protein kasar
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum penetapan kadar protein kasar adalah labu kjeldahl 650 ml, labu Erlenmeyer 650 ml dan 300 ml, gelas ukur 100 ml, buret, corong, pipet volume 25/50 ml, alat destruksi, alat destilasi, dan timbangan analitik.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum penetapan kadar protein kasar adalah Artocarpus heterophyllus, H2SO4 pekat, CuSO4 dan K2SO4, kjeltab, NaOH 50%, HCl 0,1 N, H3BO3 0,1 N, indicator mix (Metil Red, Brom Cresol Green, metanol).
Penetapan kadar ekstrak eter
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum penetapan kadar lemak kasar adalah seperangkat alat ekstraksi dan selongsong dari Soxhlet, labu penampung, alat pendingin, oven pengering, desikator, tang penjepit, timbangan analitik, dan kertas saring bebas lemak.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum penetapan kadar lemak kasar adalah Artocarpus heterophyllus.
Metode
Pengamatan fisik
Pengamatan fisik yang dilakukann pada praktikum kali ini dilakukan dengan melakukan pengamatan fisik dengan parameter yang diamati adalah tekstur, warna, bau, dan rasa dari Artocarpus heterophyllus.
Penetapan kadar air
Silica disk yang sudah bersih bersama tutup yang dilepas dalam oven pengering pada suhu 105 sampai 110oC selama 1 jam. Silica disk didinginkan bersama tutup yang dilepas di dalam desikator selama 1 jam, dan bila sudah dingin ditimbang. Cuplikan bahan ditimbang seberat sekitar 1 gram, dimasukkan ke dalam silica disk dan dikeringkan bersama tutup yang dilepas di dalam oven pengering selama 8 sampai 24 jam pada suhu 105 sampai 110oC. Silica disk dikeluarkan bersama dengan cuplikan bahan pakan dari dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator dengan tutup dilepas selama 1 jam. Silica disk yang berisi cuplikan ditimbang dalam keadaan dingin dan tertutup sampai diperoleh bobot yang tetap.
Perhitungan :
Kadar Air =
Kadar bahan kering = 100% – kadar air
Keterangan : x = bobot silica disk
y = bobot cuplikan pakan
z = bobot cuplikan pakan+silica disk setelah dioven 105 – 110°C
Penetapan kadar abu
Silica disk yang sudah bersih dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 sampai 110oC selama 1 jam. Silica disk didinginkan di dalam desikator selama 1 jam, kemudian setelah dingin ditimbang. Cuplikan bahan pakan ditimbang seberat 1 gram, dimasukkan ke dalam silica disk. Silica disk yang berisi cuplikan bahan pakan dimasukkan ke dalam tanur. Tanur dinyalakan pada suhu 550 sampai 600oC selama lebih dari 2 jam hingga cuplikan berwarna putih seluruhnya. Setelah itu suhunya diturunkan sampai 120oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator selama 1 jam.Sesudah dingin kemudian bahan pakan ditimbang.
Perhitungan :
Kadar Abu =
Keterangan : x = bobot silica disk kosong
y = bobot sampel sebelum dibakar dalam ditanur
z = bobot sampel + silica disk setelahditanur
Penetapan kadar serat kasar
Cuplikan bahan pakan ditimbang sebanyak 1 gram kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass 600 ml, ditambahkan 200 ml H2SO4 1,25%, dipanaskan sampai mendidih selama 30 menit. Bahan pakan disaring dengan saringan linen dengan bantuan pompa hampa. Hasil saringan dimasukkan ke dalam beaker glass, ditambahkan 200 ml NaOH 1,25% lalu dipanaskan sampai mendidih selama 30 menit. Bahan pakan disaring kembali dengan menggunakan crucible yang dilapisi glass wool dengan bantuan pompa vacuum kemudian dicuci dengan beberapa ml air panas dan dengan 15 ml etil alkohol 95%. Hasil saringan termasuk glass wool dimasukkan ke dalam alat pengering dengan suhu 105 sampai 110oC selama semalam kemudian didinginkan dalam desikator selama 1 jam. Crucible bersama dengan isinya kemudian ditanur dengan suhu 550 sampai 6000C sampai berwarna putih seluruhnya. Dinginkan crucible dengan menggunakan desikator, lalu ditimbang.
Perhitungan :
Kadar serat kasar =
Keterangan : x = bobot sampel awal
y = bobot sampel setelah dikeringkan oven 105°C
z = bobot sisa pembakaran 550 – 600°C
Penetapan kadar protein kasar
Destruksi. Cuplikan bahan pakan ditimbang seberat 0,5 gr. Setelah bahan pakan ditimbang kemudian disiapkan 2 butir batu didih, 20 ml H2SO4 pekat dan ¼ tablet kjeltab. Cuplikan bahan pakan dimasukkan ke dalam tabung destruksi yang telah bersih dan kering. Kompor destruksi dihidupkan kemudian tabung-tabung destruksi ditempatkan pada lubang yang ada pada kompor, lalu pendingin dihidupkan. Skala pada kompor destruksi di set kecil kurang lebih 1 jam. Destruksi diakhiri bila larutan berwarna jernih kemudian didinginkan dan dilanjutkan proses destilasi.
Destilasi. Hasil destruksi diencerkan dengan air sampel volumenya 300 ml, digojog agar larutan homogen. Erlenmeyer 650 ml yang berisi 50 ml H3BO3 0,1 N, 100 ml air, dan 3 tetes indicator mix disiapkan. Penampung dan labu kjeldahl disiapkan dalam alat destilasi. Air pendingin dihidupkan dan tombol ditekan hingga menyala hijau. Dispensing ditekan ke bawah untuk memasukkan NaOH 50% ke dalam tabung. Penambahan NaOH harus melalui dinding. Handle steam diturunkan sehingga larutan yang ada dalam tabung mendidih. Destilasi berakhir setelah desilat mencapai 200 ml kemudian buat blanko dengan menggunakan cuplikan yang berupa H2O dan di destilasi.
Titrasi. Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai berubah warna.
Perhitungan :
Kadar protein kasar =
Keterangan : x = jumlah titrasi sampel (ml)
y = jumlah titrasi blanko (ml)
N = normalitas HCl
z = bobot sampel (gram)
Penetapan kadar ekstrak eter
Cuplikan bahan pakan ditimbang sekitar 0,7 gr dan dibungkus dengan kertas saring bebas lemak, diambil sampel sebanyak 3 bungkus. Masing-masing bungkusan cuplikan dimasukkan ke dalam oven pengering 105 sampai 110oC selama semalam. Bungkusan cuplikan bahan pakan ditimbang dalam keadaan panas kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Labu penampung diisi dengan petroleum benzene sekitar ½ volume labu penampung, alat ekstraksi Soxhlet juga diisi sekitar ½ volume dengan petroleum benzene. Labu penampung dan tabung Soxhlet dipasang, kemudian penangas dan pendingin dihidupkan. Ekstraksi dilakukan selama sekitar 16 jam atau sampai petroleum benzene dalam alat ekstraksi berwarna jernih. Pemanas dimatikan kemudian sampel diambil dan dipanaskan dalam oven pengering selama semalam. Bahan pakan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang.
Perhitungan :
Kadar ekstrak eter =
Keterangan : x = bobot sampel awal
y = bobot sampel + kertas saring bebas lemak setelah oven 105°C (sebelum diekstraksi).
z = bobot sampel + kertas saring bebas lemak setelah oven 105°C (setelah diekstraksi)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan fisik
Pengamatan fisik pada praktikum ini dilakukan dengan cara menganalisis bahan pakan secara fisik meliputi tekstur, warna, bau, dan rasa. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diketahui data hasil pengamatan tertera pada Tabel 1. sebagai berikut :
Tabel 1. Pengamatan fisik
Parameter | Pengamatan |
Tekstur
Warna Bau Rasa |
Kasar
Hijau Harum Hambar |
Berdasarkan data hasil pengamatan fisik yang telah dilakukan didapatkan bahwa sampel yang digunakan mempunyai tekstur kasar, berwarna hijau, bau harum, dan rasa hambar. Berdasarkan pengamatan fisik tersebut diperkirakan bahwa bahan pakan yang digunakan untuk sampel praktikum adalah daun nangka. Rukmana (1997), menyatakan daun nangka berbentuk bulat telur dan panjang, tepinya rata, tumbuh secara berselang-seling, dan bertangkai pendek. Permukaan atas daun berwarna hijau tua mengilap, kaku, dan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Menurut Verheij dan Coronel (1997) nangka memiliki daun tunggal, tersebar, bertangkai 1 sampai 4 cm, helai daun agak tebal seperti kulit, kaku, bertepi rata, bulat telur terbalik sampai jorong (memanjang), dengan pangkal menyempit sedikit demi sedikit, ujung pendek runcing atau agak runcing, dan berwarna hijau muda sampai tua.
Daun nangka. Nangka merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di iklim tropis. Tanaman ini menyukai wilayah dengan curah hujan lebih dari 1500 mm per tahun dimana keringnya tidak terlalu keras. Pohon tinggi 20 sampai 30 m, permukaan batang kasar, diameter kurang lebih 80cm, bergetah putih, kayunya bagian dalam berwarna kekuningan. Daun nangka berbentuk bulat telur dan panjang, tepinya rata, tumbuh secara berselang-seling, dan bertangkai pendek. Permukaan atas daun berwarna hijau tua mengilap, kaku, dan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Di daerah aslinya, nangka tumbuh di hutan-hutan selalu hijau pada ketingiian 400 sampai 1200 m. Namun pertumbuhannya dapat berlangsung dengan baik pada daerah beriklim hangat dan lembab pada ketinggian di bawah 1000 mdpl dan dengan curah hujan 1500 mm atau lebih. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah dan dengan ditanam pada kedalaman yang cukup, memiliki drainase yang baik, pada tanah berpasir atau tanah liat dengan pH tanah 6,0 sampai 7,5 (Rukmana, 1997). Kurniawati (2008) dalam Sasongko et al., (2010) menyatakan bahwa setelah dilakukan penentuan kadar tanin pada beberapa hijauan pakan yang belum banyak dikenal dengan menggunakan metode total phenol dan total tanin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar total tanin pada daun nangka relatif tinggi dibandingkan dengan hijauan pakan lainnya. Berikut adalah data tabel kandungan nutrien yang ada pada daun nangka tertera pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2. Kandungan nutrien daun nangka (Artocarpus heterophyllus).
Parameter | Nilai |
Bahan Kering (%) | 16 |
Protein Kasar (%) | 10,5 |
Lemak Kasar (%) | 3,8 |
Serat Kasar (%) | 19,8 |
Abu (%) | 21,8 |
BETN (%) | 32,9 |
(Hartadi et al., 1997)
Analisis Proksimat
Analisis proksimat atau analisis Weende dikembangkan dari Weende Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, yaitu suatu metode analisis dan menggolongkan komponen yang ada pada makanan. Cara ini dipakai hampir di seluruh dunia dan disebut analisis proksimat. Analisis ini didasarkan atas komposisi susunan kimia dan kegunaannya (Tillman et al., 1998). McDonald et al. (1995), menyatakan analisa proksimat dibagi menjadi enam fraksi nutrien yaitu kadar air, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Sutardi et al. ( 2003), menyatakan pada prinsipnya bahan pakan terdiri atas dua bagian yaitu air dan bahan kering yang dapat diketahui melalui pemanasan pada suhu 105°C. Selanjutnya bahan kering ini dapat dipisahkan antara kadar abu dan kadar bahan organik melalui pembakaran dengan suhu 500°C.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data analisis proksimat tertera pada Tabel 3 sebagai berikut :
Tabel 3. Data hasil analisis proksimat sampel bahan pakan
Parameter | Pengamatan | ||
Kelompok 7 | Kelompok 8 | Rata-rata | |
Kadar Air (%) | 66,6% | 66,31% | 66,455% |
Bahan Kering (%) | 33,4% | 33,69% | 33,545% |
Protein Kasar (%) | 14,67% | 8,08% | 11,375% |
Serat Kasar (%) | 22,41% | 22,64% | 22,525% |
Lemak kasar (%) | 3,38% | 5,5% | 4,44% |
Abu (%) | 14,6% | 14,19% | 14,395% |
Penetapan kadar air. Air yang dimaksud dalam analisis proksimat adalah semua cairan yang menguap pada pemanasan selama beberapa waktu, yakni pada suhu 100 sampai 105°C dengan tekanan udara bebas sampai sisanya tidak menguap (Kamal, 1999). Penentuan kadar air bertujuan untuk menentukan kadar bahan kering dari bahan tersebut, hal ini penting karena bobot bahan kering akan digunakan sebagai standar bobot untuk penentuan kadar fraksi lainnya (Kamal, 1994). Sudarmadji et al., (2007), menyatakan bahwa prinsip penentuan kadar air dengan cara pengeringan adalah dengan menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan pada suhu 105 sampai 1100C selama 8 sampai 24 jam, kemudian bahan tersebut ditimbang sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Kelemahan metode ini meliputi bahan lain juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain; dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lain, contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi dan sebagainya; bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.
Langkah yang digunakan dalam menentukan kadar air pada praktikum ini adalah dengan memanaskan silica disk terlebih dahulu dengan menggunakan pemanas oven pada suhu 105 sampai 1100C selama 1 jam, ini dimaksudkan agar kandungan air pada silica disk menghilang sehingga tidak mempengaruhi bahan pakan yang akan diuji. Silica disk yang telah dioven kemudian didinginkan di dalam desikator selama satu jam. Desikator berfungsi untuk menstabilkan suhu penggunaan agar tetap dalam kondisi stabil dan tidak terkontaminasi dengan air. Bahan pakan dan silica disk kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik, lalu catat bobot dari bahan pakan dan silica disk tersebut. Bahan pakan dan silica disk yang telah ditimbang kemudian dipanaskan dengan menggunakan pemanas oven pada suhu 105 sampai 1100C selama 8 sampai 24 jam. Pemanas oven berfungsi agar air yang ada dalam bahan pakan tersebut dapat menguap. Pemanasan dihentikan setelah bobot dari bahan pakan tersebut stabil dan tidak mengalami penurunan berat atau berat kering.
Berdasarkan hasil praktikum penentuan kadar air diperoleh data bahwa rata-rata kadar air adalah 66,445% dengan kadar bahan kering sebesar 33,4%. Gunawan et al. (2003), menyatakan kadar air pada daun nangka adalah sebesar 67%, sedangkan Sasongko et al., (2010), menyatakan kadar air pada daun nangka adalah 66%. Berdasarkan literatur tersebut dapat dikatakan bahwa data yang diperoleh sudah sesuai dengan literatur. Menurut Hartadi et al., (1997), kadar bahan kering padadaun nangka (Artocarpus heterophyllus) adalah sebesar 16%. Kamal (1994), menyatakan perbedaan kadar air pada bahan pakan sangat dipengaruhi oleh kondisi ketika panen dan pengolahan pasca panen, sedangkan Sutardi (2003) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kadar air yaitu pengeringan dan kandungan air dari suatu bahan pakan.
Penetapan kadar abu. Abu dalam analisis proksimat adalah suatu bahan yang dibakar sempurna pada suhu 500 sampai 6000C selama beberapa waktu, maka semua nyawa organiknya akan terbakar menjadi CO2, H2O, dan gas lain yang menguap, sedangkan sisanya yang tidak menguap itulah yang disebut abu atau campuran dari berbagai oksida mineral sesuai dengan macam mineral yang terkandung di dalam bahannya (Kamal, 1994). Abu atau mineral diperoleh dengan jalan membakar sempurna bahan pakan pada temperatur 5500C sampai semua bahan organik terbakar (Utomo et al., 2008). Penentuan kadar abu bertujuan untuk menentukan kadar abu dalam suatu bahan pakan. Kombinasi unsur-unsur mineral dalam bahan makanan berasal dari tanaman sangat bervariasi sehingga nilai abu tidak dapat dipakai sebagai indeks untuk menentukan jumlah unsur mineral tertentu atau kombinasi unsur-unsur penting. Kadar abu berguna khususnya sebagai indeks untuk kadar kalsium dan fosfor pada bahan makanan yang berasal dari hewan (Tillman et al., 1998). Prinsip kerja kadar abu adalah semua bahan pakan bila dibakar pada suhu 550 sampai 6000C selama beberapa waktu maka semua zat organiknya akan terbakar sempurna menghasilkan oksida yang menguap yaitu berupa CO2, H2O, dan gas-gas lain, sedang sisanya yang tertinggal tidak menguap adalah oksida mineral atau yang disebut abu (Kamal, 1994).
Proses penentuan kadar abu dilakukan setelah melakukan uji kadar air. Bahan pakan dan silica disk hasil dari uji kadar air kemudian dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 550 sampai 6000C selama lebih dari 12 jam. Pemanasan dengan tanur pada suhu 550 sampai 6000C adalah untuk mengoksidasi semua zat organik yang ada dalam bahan pakan. Proses penanuran selesai jika cuplikan bahan pakan tersebut berwarna putih seluruhnya. Matikan tanur dan tunggu selama satu hari agar panas dalam tanur menurun karena jika langsung dibuka akan berbahaya karena udara panas dalam tanur sangat tinggi. Ambil bahan pakan dan silica disk kemudian timbang bobotnya dengan menggunakan timbangan analitik.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa rata-rata kadar abu adalah sebesar 14,395%. Hartadi et al. (1997), menyatakan kadar abu dalam bahan pakan daun nangka adalah 21,8%, sedangkan Sasongko et al. (2010), menyatakan kadar abu dalam bahan paka daun nangka adalah sebesar 14,3%. Berdasarkan literatur tersebut dapat disimpulkan bahwan kadar abu dalam bahan pakan daun nangka berada pada kisaran normal. Barry (2004), menyatakan, asal bahan baku dan lokasi pembudidayaan mempengaruhi kadar abu karena media tanam pada daerah yang berbeda memiliki kandungan mineral yang berbeda, sehingga mempengaruhi kadar mineral pada tanaman. Setiap spesies tanaman memiliki kemampuan yang berbeda untuk menyerap nutrien, khususnya mineral, yang terkandung dalam tanah, sehingga menyebabkan perbedaan kandungan mineral pada tanaman yang juga menyebabkan perbedaan kualitasnya.
Penetapan kadar serat kasar. Serat kasar adalah bahan organik yang tahan terhadap hidrolisis asam dan basa lemah (Utomo et al., 2008). Serat kasar menurut analisis proksimat adalah semua senyawa organik yang tidak larut dalam perebusan dengan larutan H2SO4 1,25% dan perebusan dengan larutan NaOH 1,25% selama 30 menit secara berurutan. Perebusan akan melarutkan senyawa organik kecuali serat kasar dengan berbagai campurannya. Senyawa yang termasuk dalam serat kasar adalah hemiselulosa, pentosan, lignin dan cutine (Hartadi et al., 2008). Analisa penentuan serat kasar menghitung banyaknya zat-zat yang tak larut dalam asam encer maupun basa encer dengan kondisi tertentu (Sudarmadji et al., 2007). Prinsip penetapan kadar serat kasar adalah semua senyawa organik kecuali serat kasar akan larut bila direbus dalam H₂SO₄ 1,25% (0,255 N) dan dalam NaOH 1,25% (0,313 N) yang berurutan masing-masing selama 30 menit. Bahan organik yang tertinggal disaring dengan glass wool dan crucible. Hilangnya bobot setelah dibakar 550 sampai 600°C adalah serat kasar (Kamal, 1999).
Penetapan kadar serat kasar dilakukan dengan menimbang cuplikan bahan pakan sebanyak 1 gram dengan menggunakan timbangan analitik, kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass 600 ml, lalu ditambahkan dengan 200 ml H2SO4 1,25% dan kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 30 menit. Pemanasan dengan menggunakan H2SO4 1,25% adalah untuk menghidrolisis karbohidrat dan protein yang ada dalam bahan pakan selain itu juga disesuaikan dengan pH yang ada dalam lambung. Bahan pakan yang sudah direbus dengan menggunakan H2SO4 1,25% selama 30 menit kemudian disaring dengan menggunakan saringan linen dibantu dengan menggunakan pompa hampa (pompa vacum). Pompa vacum berfungsi untuk membantu agar proses penyaringan dapat berjalan dengan cepat. Hasil saringan kemudian dimasukkan kembali ke dalam beaker glass dan ditambahkan dengan 200 ml NaOH 1,25% lalu dididihkan selama 30 menit. Perebusan dengan menggunakan NaOH bertujuan untuk penyabunan lemak yang ada dalam bahan pakan, selain itu juga disesuaikan dengan pH yang ada dalam usus. Bahan pakan yang telah dididihkan dengan NaOH 1,25% kemudian disaring dengan menggunakan crucible yang telah dilapisi dengan glass wool dengan bantuan pompa vacum, cuci dengan beberapa ml air panas dan kemudian dengan 15 ml ethyl alkohol. Glass wool berfungsi agar meminimalisir bahan pakan yang ikut larut dalam penyaringan, selain itu juga karena glass wool tidak mudah lebur atau meleleh jika dipanaskan pada suhu tinggi dengan menggunakan tanur (550 sampai 6000C). Ethyl alkohol berfungsi untuk menghidrolisis lemak yang kemungkinan masih terkandung dalam bahan pakan. Hasil saringan termasuk glass wool dipanaskan pada oven dengan suhu 105 sampai 1100C selama semalam, kemudian dinginkan dengan desikator lalu timbang bobotnya. Bakar crucible bersama dengan isinya pada tanur dengan suhu 550 sampai 6000C sampai berwarna putih seluruhnya, lalu dinginkan dengan desikator dan timbang bobotnya.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data bahwa rata-rata kadar serat kasar adalah 22,525%. Sasongko et al. (2010), menyatakan kadar serat kasar pada daun nangka adalah 21,45%, sedangkan Gunawan et al. (2003), menyatakan kadar serat kasar pada daun nangka adalah sebesar 31,369%. Berdasarkan literatur tersebut diketahui kadar serat kasar berada pada kisaran normal. Hartadi et al., (1997), menyatakan perbedaan kadar serat kasar disebabkan oleh adanya perbedaan umur tanaman, jenis lingkungan, dan pemupukkan terhadap induk tanaman yang digunakan sebagai sampel Aak (2008) menyatakan semakin tua umur tanaman maka semakin tinggi serat kasarnya karena semakin banyak serabut yang diselubungi oleh lignin dan membuat tanaman menjadi keras, juga semakin rendah pula kecernaannya. Faktor lain seperti jenis tanaman dan komposisi tanaman mempengaruhi kadar serat kasar dalam bahan pakan.
Penetapan kadar protein kasar. Protein kasar diperoleh dan hasil penetapan N x 6,25 (protein rata-rata mengandung N 16%). Protein merupakan kumpulan asam amino yang saling diikatkan dengan ikatan peptida (Utomo et al.,2008). Protein merupakan salah satu zat makanan yang berperan pada produktivitas ternak. Jumlah protein dalam pakan ditentukan dengan kandungan nitrogen bahan pakan melalui metode kejedahl yang kemudian dikali faktor protein 6,25 (Suparjo, 2010). Protein merupakan kumpulan asam amino yang saling diikatkan dengan dengan ikatan-ikatan peptida. Energi protein sebesar 5,50 Kcal/g, apabila digunakan sebagai sumber energi 1,25 Kcal/g keluar sebagai urea, setiap unit protein tinggal 4,25 Kcal/g. Karena digesti protein yang tidak sempurna, nilai energinya berkurang 0,25 Kcal/g sehingga tinggal 4 Kcal/g (Utomo, 2012).
Penetapan kadar protein kasar dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Proses destruksi (oksidasi) merupakan perubahan N-protein menjadi ammonium sulfat (NH4)2SO4. Prinsip destruksi yaitu menghancurkan bahan menjadi komponen sederhana, sehingga nitrogen dalam bahan terurai dari ikatan organiknya. Nitrogen yang terpisah diikat oleh H2SO4 menjadi (NH4)2SO4. Raksi destruksi dilakukan dengan cara menimbang bahan pakan seberat 0,5 gram kemudian dimasukkan ke dalam tabung destruksi. H2SO4 pekat 20 ml dan seperempat tablet kjeltab dimasukkan ke dalam tabung destruksi. Tablet kjeltab terdiri dari CuSO4 dan K2SO4 dengan perbandingan 2 : 1 yang berfungsi dari katalisator. Tabung destruksi kemudian ditutup dengan penutup yang sudah terhubung dengan selang yang terhubung ke udara bebas. Tabung destruksi kemudian dimasukkan ke dalam kompor destruksi lalu dipanaskan pada suhu tertentu selama 1 jam. Fungsi dari kompor destruksi adalah sebagai katalisator sama seperti dengan tablet kjeltab. Destruksi diakhiri apabila larutan sudah berwarna jernih kekuningan. Reaksi destruksi :
N organik + H2SO4 → (NH4)2SO4 + H2O + NO3 + NO2 (Suparjo, 2010).
Hasil dari destruksi kemudian masuk ke tahapan destilasi. Prinsip dari destilasi yaitu memecah (NH4)2SO4 menjadi NH3 yang kemudian ditangkap oleh H3BO3. Hasil destruksi pertama dilarutkan dengan menggunakan air sebanyak 75 ml, setelah itu dimasukkan NaOH 50% sebanyak 100 ml melalui dinding tabung. Berwarna biru apabila larutan NaOH sudah cukup dan berwarna coklat apabila NaOH masih kurang dari 100 ml. NaOH berfungsi untuk merubah (NH4)2SO4 menjadi NH4OH yang apabila dipanaskan akan berubah menjadi gas NH3 dan kemudian dikondensasi berubah menjadi larutan. NH3 kemudian mengalir ke dalam tabung yang sudah berisi larutan H3BO3, indikator mix (methanol, methyl red, dan brom kresol green), air, dan NaOH rendah. NH3 kemudian ditangkap oleh H3BO3 menjadi (NH4)3BO3 yang ditandai dengan berwarna hijau. Proses destilasi diakhiri apabila larutan yang ada dalam tabung erlenmeyer sudah berisi larutan sebanyak 200 ml. Reaksi dari proses destruksi adalah :
(NH4)2SO4 + 2 NaOH → 2NH4OH + Na2SO4
↙ ↘
2NH3 2H2O
NH3 + H3BO → (NH4)3BO3 (Suparjo, 2010).
Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai timbul perubahan warna hijau menjadi warna perak. Prinsip titrasi yaitu mengukur sisa asam yang tidak bereaksi dengan NH3. Reaksi ini bertujuan untuk mengetahui jumlah N yang terdestilasi. Reaksi yang terjadi pada proses titrasi sebagai berikut:
(NH4)3BO3 + 3HCl → 3NH4Cl + H3BO3 (Suparjo, 2010).
Berdasarkan dari praktikum penentuan kadar protein kasar yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa rata-rata kadar protein kasar adalah 11,375%. Sasongko et al. (2010), menyatakan kadar protein kasar pada bahan pakan daun nangka adalah sebesar 11,22%. Gunawan et al. (2003), menyatakan kadar protein kasar pada bahan pakan daun nangka adalah sebesar 14,945%, sedangkan Hartadi et al., (1997), menyatakan kadar protein kasar pada bahan pakan daun nangka adalah sebesar 10,5%. Berdasarkan literatur yang ada, rata-rata kadar protein kasar berada pada kisaran normal. Kamal (1999), menyatakan kadar protein kasar dipengaruhi oleh faktor spesies, perbedaan umur tanaman, dan bagian tanaman yang dianalisis. Semakin tua umur tanaman maka kadar protein kasarnya semakin berkurang. Syamsuddin (2013) bahwa semakin tua umur tanaman kadar protein kasarnya semakin berkurang. Rendahnya kadar protein tanaman tua dapat disebabkan karena semakin tua tanaman memiliki batang yang lebih tinggi persentasenya daripada daun. Penetapan kadar lemak kasar. Lemak kasar adalah semua bahan organik yang larut dalam dalam pelarut lemak termasuk lipida dan zat yang tidak berlemak. Dengan demikian bukan gambaran lemak yang sebenarnya (gliserol dan 3 asam lemak) (Utomo et al., 2008). Lemak kasar adalah campuran beberapa senyawa yang larut dalam pelarut lemak (ether, petroleum ether, petroleum benzene dan sebagainya), oleh karena itu lemak kasar lebih tepat disebut ekstrak ether. Disebut lemak kasar karena merupakan campuran beberapa senyawa yang larut dalam pelarut lemak. Penentuan lemak kasar dapat dikerjakan dengan jalan ekstraksi menggunakan zat pelarut lemak menurut soxhlet, apabila sudah larut kemudian pelarutnya diuapkan maka yang tertinggal adalah lemak kasarnya (Suparjo, 2010). Prinsip kerja lemak kasar adalah lemak kasar dapat diekstraksi dengan menggunakan ether atau zat pelarut lemak lain menurut Soxhlet kemudian ether diuapkan den lemak dapat diketahui bobotnya (Kamal,1994).
Penetapan kadar lemak kasar dilakukan dengan menimbang cuplikan bahan pakan dan kertas saring bebas lemak dengan menggunakan timbangan analitik. Kertas saring bebas lemak dipilih karena agar tidak mempengaruhi hasil dari bahan pakan yang akan diuji. Bobot bahan pakan yang ditimbang seberat 0,7 gram dan membuat 3 sampel yang sama dengan berat 0,7 gram. Digunakan 3 sampel agar hasil yang didapat lebih akurat. Bahan pakan yang sudah dibungkus kertas saring bebas lemak kemudian di oven dengan suhu 105 sampai 1100C dan setelah dioven lalu ditimbang bobotnya. Bahan pakan yang sudah dioven pada suhu 105 sampai 1100C kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Labu penampung kemudian diisi dengan petrolium benzene sekitar ½ volume labu penampung atau hingga melebihi batas pipa kecil, kemudian ditambahkan lagi petrolium benzene yang kedua hingga semua bahan pakan tenggelam dalam larutan petrolium benzene. Dipilih larutan petrolium benzene karena selain harganya lebih terjangkau juga titik didih dari petrolium benzene lebih rendah dari pada ether. Alat kondensasi kemudian dialiri air lalu pemanas dari Soxhlet dihidupkan. Pemanasan dilakukan selama 16 jam dengan suhu yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga bisa berjalan maksimal. Pemanasan diakhiri dengan ditandai petrolium benzene sudah berwarna bening yang menunjukkan lemak sudah larut bersamaan dengan petrolium benzene. Sampel bahan pakan kemudian dimasukkan lagi ke dalam oven dengan suhu 105 sampai 1100C lalu setelah itu bobotnya ditimbang. Pemanasan yang kedua bertujuan agar larutan petrolium benzene yang masih ada dalam bahan pakan akan menguap yang tersisa hanyalah bahan organik selain lemak dan sehingga kadar lemak dapat diketahui dari selisish bobot sebelum diekstraksi dan bobot setelah diekstraksi.
Berdasarkan praktikum penentuan kadar lemak yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa rata-rata kadar lemak kasar adalah 4,44%. Sasongko et al. (2010), menyatakan kadar lemak kasar pada bahan pakan daun nangka adalah sebesar 2,55%. Gunawan et al. (2003), menyatakan kadar lemak kasar pada bahan pakan daun nangka adalah sebesar 2,2016%, sedangkan Hartadi et al. (1997), menyatakan kadar lemak kasar pada daun nangka adalah sebesar 3,8%. Berdasarkan literatur yang ada, dapat disimpulkan bahwa rata-rata kadar lemak kasar dari bahan pakan daun nangka yang digunakan berada di atas kisaran normal. Rianto et al. (2010) menyatakan bahwa kadar lemak banyak terdapat pada daun yang berumur muda dibanding pada batang dari suatu tanaman, tetapi biji dalam suatu tumbuhan umumnya mempunyai kandungan lemak yang lebih tinggi. Herman (2005) juga menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi kadar lemak adalah pengembangan atau pemelaran bahan tanaman, difusi, pH, ukuran partikel, temperatur, dan pilihan pelarut ekstraksi.
Penetapan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen. Bahan ekstrak tanpa nitrogen diperoleh dari hasil mengurangi sampel bahan kering dengan semua komponen-komponen sesperti air, serat kasar, protein, dan abu (Tillman et al., 1998). Berdasarkan data hasil praktikum yang diperoleh, dapat dilakukan perhitungan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen dari bahan pakan tersebut. Rata-rata kadar bahan ekstrak nitrogen pada praktikum kali ini adalah 48,42%. songko et al. (2010), menyatakan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen dari bahan pakan daun nangka adalah sebesar 50,73%, sedangkan Hartadi et al. (1997), menyatakan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen dari bahan pakan daun nangka adalah sebesar 32,9%. Berdasarkan dari literatur tersebut dapat disimpulkan bahwa kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen dari kedua kelompok masih dalam kisaran normal. Perbedaan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen ini dipengaruhi oleh faktor spesies tanaman, umur tanaman, perbedaan bagian yang digunakan untuk sampel, dan kesuburan tanah (Tillman et al., 1998).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa daun nangka (Artocarpus heterophyllus) mengandung rata-rata kadar air 66,455%, bahan kering 33,545%, protein kasar 11,375%, serat kasar 22,525%, lemak kasar 4,44%, abu 14,395%, dan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen 48,42%. Faktor yang mempengaruhi perbedaan kadar nutrien pada bahan pakan adalah spesies tanaman, umur tanaman, perbedaan bagian yang digunakan untuk sampel, dan kesuburan tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Aak. 2008. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja dan Perah. Kanisius. Yogyakarta
Barry. 2004. Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
Gunawan, Didik, E.W., dan Peni, W.P. 2003, Strategi Penyusunan Pakan Murah Sapi Potong Menfukung Agribisnis. Loka Penelitian Sapi Potong. Pasuruan.
Hamzah, Hamdiyah., Fatimali., Paulina V.Y.Y., dan Jeane M. 2013. Formulasi salep ekstrak etanol daun nangka (Artocarpus heterophylus Lam) dan uji efektivitas terhadap penyembuhan luka terbuka pada kelinci. Fakultas Farmasi UNSRAT Manado. Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol.2 No.03.
Hartadi, H., Kustantinah, R. E. Indarto, N. D. Dono, Zuprisal. 2008. Nutrisi Ternak Dasar. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hartadi, H., Soedomo R., Soekanto L., Allen D. Tillman. 1997. Tabel-tabel Dari Komposisi Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Herman. 2005. Ilmu Makanan Ternak Umum. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Jayanegara, A., dan A. Sofyan. 2008. Penentuan aktivitas biologis tanin beberapa hijauan secara in vitro menggunakan “hohenheim gas test” dengan polietilen glikol sebagai determinan. Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI. Bandung. Media Peternakan, April 2008, hlm. 44-52. ISSN 0126-0472. Vol. 31 No. 1.
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak I. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan. Yogyakarta.
Kamal, M. 1999. Nutrisi Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Mc Donald, P., RA. Edwards. JFG Greenhalgh, and CA. Morgan. 1995. Animal Nutrition Prentice Hall.
Rukmana R. 1997 .Budi Daya Nangka. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sasongko, W.T., Lies Mira, Y., Zaenal, B., dan Mugiono, 2010, Optimalisasi peningkatan tanin daun nangka dengan protein bovine serum albumin. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Buletin Peternakan Vol. 34(3):154-158, Oktober 2010.
Sudarmadji, S., Haryono, B dan Suhardi. 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian, Edisi Kedua. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta.
Suparjo. 2010. Analisis Bahan Pakan secara Kimiawi : Analisis Proksimat dan Analisis Serat. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Negeri Jambi. Jambi.
Sutardi, T. R., dan S. Rahayu. 2003. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Syamsuddin. 2013. Pengaruh pupuk organik dan umur defoliasi terhadap beberapa zat gizi silase rumput gajah (Pennisetum Purpureum). Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak, Vol 9(1):9-17. ISSN 1411-4577.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawiro Kusuma, dan S. Lebdosoekoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tulyathan, V., Kanitha T., Prapa S., Nongnuj J. 2001. Some physicochemical properties of jackfruit (Artocarpus heterophyllus Lam) seed flour and starch. Faculty of Science Chulalongkorn University. Thailand. ScienceAsia 28 (2002) : 37-41.
Utomo R., Subur P.S.B., Ali A., Cuk T.N. 2008. Buku Ajar Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Utomo, Ristianto.2012. Evaluasi Pakan dengan Metode Noninvasif. PT.Intan Sejati. Jakarta.
Verheij, E. W. M., dan R. E. Coronel. 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan yang Dapat Dimakan. Penerbit Gramedia. Jakarta.
LAMPIRAN
Perhitungan Kadar Air
Berat sampel = 1,0510 g
Berat sampel sebelum dioven 105˚C = 22,6070 g
Berat sampel setelah dioven 105˚C = 22,5449 g
Kadar Air I =
|
= berat sampel sebelum dioven 55˚C – berat sampel setelah dioven 55˚C
berat sampel – berat koran
= x 100%
= 64,5%
Kadar Bahan Kering (DW) = 100 % – kadar air I
= 100 % – 64,5 %
= 35,5 %
Kadar Air II =
|
= berat sampel sebelum dioven 105˚C – berat sampel setelah dioven 105˚C
berat sampel – berat koran
= x 100%
= 5,9086 %
Kadar Bahan Kering (DMDW) = 100% – kadar air II
= 100% – 5,9086%
= 94,09%
Kadar Air Total = KA I + (KA II x DW)
= 64,5% + (5,9086% x 35,5%)
= 66,60%
Kadar Bahan Kering = 33,40%
Perhitungan Kadar Abu
Bobot sampel + silica disk sebelum ditanur = 22,6070 g
bobot sampel + silica disk setelah ditanur = 21,7011 g
Bobot silica disk kosong = 21,5560 g
Bobot sampel = 1,0510 g
Kadar Abu dalam BK=
|
= bobot sampel dan silika disk setelah dibakar – bobot silika disk kosong
sampel sebelum dibakar
= x 100%
= 14,6 %
Perhitungan Kadar Serat Kasar dalam BK
bobot sampel setelah dioven 105˚C = 21,2785 g
bobot sampel setelah ditanur = 21,0622 g
bobot sampel awal = 1,0252 g
Kadar Serat Kasar
|
= bobot sampel setelah dioven 105˚C – bobot sampel setelah dibakar
bobot sampel awal
= x 100%
= 22,41%
Perhitungan Kadar Protein Kasar
Jumlah titrasi sampel = 9 ml
Jumlah titrasi blanko = 0,3 ml
Bobot sampel = 0,5513 g
Kadar Protein Kasar dalam BK =
|
= jumlah titrasi sampel – jumlah titrasi blanko x 0,1 x 0,014 x 6,25
bobot sampel
= x 100%
= 14,67%
Perhitungan Kadar Lemak Kasar dalam BK
Bobot kertas saring I = 0,4557 g
Bobot kertas saring II = 0,4768 g
Bobot kertas saring III = 0,4739 g
Bobot sampel I sebelum ekstraksi 105°C = 1,1030 g
Bobot sampel II sebelum ekstraksi 105°C = 1,1263 g
Bobot sampel III sebelum ekstraksi 105°C = 1,1725 g
Bobot sampel I setelah ekstraksi 105°C = 1,0456 g
Bobot sampel II setelah ekstraksi 105°C = 1,0975 g
Bobot sampel III setelah ekstraksi 105°C = 1,1540 g
Bobot sampel I awal = 0,7164 g
Bobot sampel II awal = 0,7222 g
Bobot sampel III awal = 0,7736 g
Kadar Lemak Kasar dalam BK I
=x100%
=x 100%
= 8,51%
Kadar Lemak Kasar dalam BK II
|
= bobot sampel I sblm ekstraksi 105˚C – bobot sampel I stlh ekstraksi 105˚C
bobot sampel I awal
= x 100%
= 4,23%
Kadar Lemak Kasar dalam BK III
|
= bbt sampel III sblm ekstraksi 105˚C – bbt sampel III stlh ekstraksi 105˚C
bobot sampel III awal
= x 100%
= 2,54%
Kadar Lemak Kasar Rata-rata ( II dan III)
= kadar lemak kasar II + kadar lemak kasar III
2
=
= 3,38%
Kadar Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen dalam BK
Kadar BETN (BK) = 100 % – (kadar abu + kadar serat kasar + kadar protein kasar + kadar lemak kasar)
=100% – (14,6% + 22,41% + 14,67% + 3,38%)
= 44,94%