Pengembangan Produk Daging Kelinci menjadi Bakso untuk Meningkatkan Nilai Ekonomis Daaging Kelinci
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kelinci merupakan salah satu ternak yang mempunyai potensi besar untuk dikembangbiakan sebagai penyedia daging, karena ternak ini mempunyai kemampuan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, kemampuan untuk memanfaatkan hijauan dan limbah pertanian maupun industri pangan, dapat dipelihara dengan skala pemeliharaan yang kecil maupun besar, sehingga diharapkan dalam waktu singkat dapat menyediakan daging untuk memenuhi kebutuhan protein hewani penduduk Indonesia yang setiap tahunnya meningkat.
Keunggulan yang diperoleh dari mengkonsumsi daging kelinci, yaitu kandungan protein yang tinggi dan rendah kolesterol, sehingga daging kelinci dapat dipromosikan sebagai daging sehat, selain itu kulit dan kotorannya masih mempunyai nilai ekonomis, khususnya kulit bulu (fur) dari ternak kelinci Rex dan Satin mempunyai nilai komersiil yang tinggi sebagai bahan garmen yang dapat menggantikan furdari binatang
buas yang semakin langka. Penampilan ternak kelinci yang jinak dan lucu menjadikan ternak ini sebagai hewan kesayangan bagi penyayang binatang, disamping itu kemajuan industri farmasi yang pesat sangat membutuhkan ternak ini sebagai kelinci percobaan.
Kelinci mempunyai potensi biologis yang tinggi, yaitu kemampuan reproduksi yang tinggi, cepat berkembang biak, interval kelahiran yang pendek, prolifikasi yang sangat tinggi, mudah pemeliharan dan tidak membutuhkan lahan yang luas (TEMPLETON, 1968). Keuntungan lainnya yaitu pertumbuhan yang cepat, sehingga cocok untuk diternakkan sebagai penghasil daging komersial. Kelinci penghasil daging memiliki bobot badan yang besar dan tumbuh dengan cepat, seperti Flemish Giant, Chinchilla, New Zealand White, English Spot dan lainnnya (RAHARJO, 2004).
I.2. Tujuan
Pengembangan produk daging kelinci menjadi bakso bertujuan untuk mengetahui pengembangan produk olahan daging kelinci untuk memenuhi kebutuhan daging penduduk indonesia dan meningkatkan nilai ekonomis dari daging kelinci.
BAB II
PEMBAHASAN
- 1. Kondisi Kekinian
Kondisi sekarang permintaan produk peternakan terus meningkat sebagai konsekuensi adanya peningkatan jumlah penduduk, bertambahnya proporsi penduduk perkotaan, pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang perlunya makanan yang berkualitas dan bergizi serta adanya dukungan membaiknya pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Disisi lain peternakan belum mampu menyediakan produk daging dan susu untuk memenuhi permintaan konsumen dan industri, sehingga berakibat ketergantungan terhadap impor yang semakin besar.
Saat ini rata-rata konsumsi daging secara nasional masih rendah yaitu kurang dari 2 kg/kapita/tahun dan diperkirakan akan mencapai 3 kg/kapita/tahun sehingga peningkatan konsumsi dan peningkatan penduduk akan memerlukan pasokan sapi potong sekitar 1,5 juta ekor per tahun.
Pangan hewani (daging, telur dan susu) mutlak diperlukan tubuh karena protein yang terkandung didalamnya memiliki asam amino esensial dan tidak dapat digantikan sumber lain karena berfungsi membangun struktur pertumbuhan, bio katalisator, buffer dalam cairan tubuh, penyangga penyakit/racun, sumber hormon dan energi. Sehingga penyediaannya dianggap sebagai “agent of develompment”bagi pembangunan bangsa baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang. Untuk itu pemerintah telah menetapkan pangan hewani sebagai salah satu unsur sembilan bahan pokok (sembako) yang berarti produk peternakan menjadi komponen penting bagi kehidupan masyarakat.
Pengembangan usaha ternak kelinci merupakan salah satu terobosan karena merupakan pengembangan usaha peternakan tanpa harus membuka lahan baru. Keuntungan yang diperoleh adalah sinergi produksi ternak dan kulit ternak dalam suatu hamparan yang terbatas.
- 2. Keberlanjutan dari Kondisi Kekinian
Keberlanjutan dari kondisi kekinian pengembangan produk olahan daging kelinci sudah mulai berkembang di masyarakat. Bahkan permintaan daging kelinci meningkat terus menerus. Seperti halnya di Permintaan daging kelinci di luar negeri terus meningkat setiap tahunnya. Menurut LEBAS et al. (1983), bahwa produksi daging kelinci dunia pada tahun 1980 sebanyak 1 juta ton, dan pada tahun 1991 meningkat menjadi 3 juta ton (LEBASdan COLLIN, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa di luar negeri daging kelinci sangat disukai terutama bagi masyarakat di negara-negara Eropa.
Tabel 1. Produksi dan konsumsi daging kelinci di beberapa negara Eropa
Negara | Produksi tahunan (ton) | Konsumsi kapita/tahun | Konsumsi /kg/ ton |
Italia | 300.000 | 320.000 | 5,3 |
Prancis | 150.000 | 160.000 | 2,9 |
Spanyol | 120.000 | 120.000 | 3,0 |
Belgia | 20.000 | 26.000 | 2,6 |
Portugal | 20.000 | 20.000 | 2,0 |
Malta | 1.300 | 1.300 | 4,3 |
Total Rerata | 611.300 | 647.300 | 3,7 |
Sumber: LEBAS dan COLIN(1992)
Oleh karena iti, daging kelinci dapat dijadikan peluang yang baik untuk mewujudkan standar norma gizi protein hewani yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia, karena sampai tahun 2002 sektor peternakan baru mencapai 4,82 gram/kapita/hari masih jauh dari yang diharapkan. yaitu sebanyak 6 g protein kapita/hari. Protein tersebut berasal dari susu, telur dan daging sapi, kerbau, domba, kambing, babi, kuda dan unggas, sedangkan dari kelinci belum memberikan kontribusi. Sehingga daging kelinci mempunyai peluang dalam pengembangan produk di bidang peternakan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat indonesia.
- 3. Prospek pengembangan
Pengembangan daging kelinci dapat di oleh menjadi berbagai jenis makanan. Namun pengolahan merupakan hal yang harus diperhatikan, karena dengan pengolahan akan menentukan apakah produk olahan tersebut diterima atau tidak oleh konsumen. Dalam proses pengolahan pangan, penggunaan panas untuk membunuh mikroba yang tidak diinginkan juga akan merusak zat nutrisi yang ada di dalam bahan pangan itu sendiri, oleh karena itu tugas seorang ahli teknologi pangan adalah mencari titik optimasi untuk mendapatkan bahan pangan dengan tingkat kerusakan nutrisi yang rendah namun aman
untuk dikonsumsi.
Untuk meningkatkan penerimaan masyarakat dari daging kelinci serta dalam rangka upaya diversifikasi pangan hewani maka perlu dilakukan proses pengolahan, karena proses pengolahan menyebabkan terjadinya perubahan fisik maupun kimiawi sehingga mengakibatkan terbentuknya aroma, konsistensi, tekstur, nilai gizi dan penampakan yang diharapkan dapat merubah faktor kebiasaan makan. Mutu akhir dari makanan ini sangat ditentukan oleh mutu bahan baku dan kondisi proses oleh karena itu dalam pengolahan bahan pangan faktor tersebut harus mendapat perhatian, disamping itu harus memperhatikan pula preferensi konsumen, khususnya dalam pengolahan daging kelinci.
Salah satunya adalah olahan daging kelinci menjadi bakso. Bakso adalah produk olahan daging yang dihaluskan, ditambahkan tepung dan bumbu serta dicetak dalam bentuk bulatan. Bakso dalam istilah cina berasal dari kata bakatau ba yang merupakan singkatan dari babi, namun dapat pula digunakan daging dari berbagai jenis ternak lainnya seperti kelinci bahkan bakso sapi lebih dikenal masyarakat dibandingkan dengan bakso babi. Menurut OCKERMAN(1978), bahwa bakso (meat ball) merupakan daging giling yang dicampur dengan sebanyak-banyaknya 12% campuran kedelai, konsentrat protein, skim dan bahan sejenis sedangkan menurut DEWAN STANDARISASI NASIONAL(1995), bakso merupakan produk makanan berbentuk bulattan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia atau tanpa bahan tambahan makanan yang dizinkan. Meskipun daging olahan kelinci belum terkenal, sekarang sudah banyak daging kelinci yang diolah menjadi bakso dan harganya menjadi lebih tinggi dibanding hanya menjual daging kelincinya saja. Hal ini menunjukkan nilai ekonomis dari daging kelinci lebih tinggi.
- 4. Strategi Pengembangan
Strategi pengembangan olahan daging kelinci menjadi bakso dengan memperkenalkan dan lebih mempopulerkan daging kelinci sebagai sumber protein hewani yang memiliki keunggulang daging yang rendah kolesterol di banding dengan daging dari ternak yang lain. Dengan keunggulan tersebut daging kelinci dapat digunakan sebagai alternatif protein hewani yang dapat mengurangi kolesterol dalam tubuh bagi orang-orang yang menderita kolesterol yang tinggi. Untuk meningkatkan nilai ekonomis dari daging kelinci perlu adanya pengembangan produk . Salah satunya pengembangan produk daging kelinci menjadi bakso.
Bakso merupakan olahan daging yang sudah sangat terkenal. Karena bakso merupakan daging olahan yang memilik campuran dari daging yang digiling, tepung singkong, garam, es dan bahan penyedap. Sehingga memiliki rasa yang sedap dan memiliki tekstur yang enak. Bahkan bakso merupakan olahan yan terkenal dan sangat digemari oleh masyarakat indonesia. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri untuk masyarakat indonesia bahwa adanya bakso dari daging kelinci.
BAB III
PENUTUP
III. 1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas bahwa daging kelinci dapat digunakan sebagai alternatif protein hewani yang menyehatkan karena kandungan kolesterol yang rendah. Untuk meningkatkan nilai ekonomisnya daging kelinci dapat diolah menjadi bakso sebagai salah satu pengembangan produk dibidang peternakan. Karena bakso merupakan olahan daging yang sangat digemari oleh masyarakat indonesia.
Daftar Pustaka
DEWAN STANDARISASI NASIONAL. 1995. Bakso Daging. SNI 01-3818-1995
LEBAS, F. 1983. Small Scale Rabbit Production, Feeding and Management System. World Anim. Rev. 46, 11-17.
LEBAS, F. and M. COLLIN. 1992. World Rabbit Production and Research Situation. 1992. J. Appl. Rabbit Res, 15, 29-54.
OCKERMAN, H.W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th Ed. Dept. of Animal Science. The Ohio State Univesity, Ohio.
RAHARJO, Y.C. 2004. Prospek, Peluang dan Budidaya Ternak Kelinci. Seminar Nasional Prospek Ternak Kelinci Dalam Peningkatan Gizi Masyarakat Mendukung Ketahanan Pangan, Bandung.
TEMPLETON, G.S. 1968. Domestic Rabbit Production. He Interstate Printers and Pub. Danville, Illionois.