Laporan Praktikum Ilmu Hijauan Makanan Ternak Acara Kultur Jaringan

LAPORAN PRAKTIK UM

ILMU HIJAUAN MAKANAN TERNAK

Acara Kultur Jaringan

 

 

 

 

 

Disusun oleh:

Kelompok XVIII

 

Yuni Setiyawati

Amir Latif

Jonathan Wibowo

Nurus Sobah

Anisa Muslikhawati

 

PT/06473

PT/06534

PT/06560

PT/06587

PT/06616

 

 

Asisten Pendamping: Ellentika Damayanti

 

 

 

 

 

LABORATORIUM HIJAUAN MAKANAN TERNAK DAN PASTURA

BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015


 

TINJAUAN PUSTAKA

Kultur Jaringan

 

Pengertian Kultur Jaringan

Kultur jaringan merupakan perbanyakan tanaman dapat digolongkan menjadi dua, yaitu perbanyakan tanaman secara generatif dan perbanyakan secara vegetatif. Perbanyakan secara generatif adalah dengan menanam biji, sedangkan perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat dilakukan dengan okulasi, cangkok, penyambungan, merunduk dan yang paling mutakhir adalah dengan kultur jaringan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan tertua dilakukan pada biji anggrek dengan tujuan untuk mengecambahkannya dalam media yang kaya nutrisi karena biji dari anggrek tidak mempunyai cadangan makanan. Kultur jaringan terus berkembang dari mengkulturkan biji berkembang dengan mengkulturkan jaringan dan terus berkembang hingga mampu mengkulturkan satu sel dari tanaman (Prawiro, 1992).

Kalus adalah suatu massa sel yang terbentuk pada permukaan eksplan atau pada irisan eksplan. Kalus ini akan tumbuh pada eksplan di media padat, sedangkan di media cair akan tumbuh plb (protokormus) (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Tahapan penting dalam proses kultur jarigan ialah kalus. Kalus merupakan sel yang memiliki massa yang aktif membelah dan tak terorgaisir yang biasanya muncul sebagai respon terhadap pelukaan jaringan dan organ yang telah mengalami deferensiasi (Prawiro, 1992). Menurut Genta (1997), menjelaskan dalam kultur jaringan semua tipe organ (akar, batang, daun, bunga,dll) dan jaringan dapat  digunakan sebagai bahan eksplan untuk induksi kalus. Aktivitas proses pembelahan sel dan pembentukan organ dan embrio diperlukan hormon endogen kualitas hormon tersebut ditentukan tipe bahan awal misal umur tanaman dan posisi eksplan pada tanaman.

Teknik kultur jaringan dimulai dengan pengambilan eksplan, yaitu bagian kecil jaringan atau organ yang dipisahkan dari tanaman induk kemudian dikultur. Eksplan dari jaringan yang masih muda, diperkirakan masih dapat menghasilkan zat tumbuh sendiri dan sel-selnya masih aktif membelah, sehingga proses kultur jaringan dapat diharapkan berhasil sampai menjadi tanaman yang lebih lengkap. Jaringan yang masih muda serta belum banyak terdeferensiasi terdapat pada jaringan meristem. Dari semua jenis tanaman, bagian inilah yang paling banyak berhasil dikultur secara in vitro. Sel serta jaringan yang masih muda atau yang dinamakan juvenile akan tetap mudah dalam pengkulturan sehingga daya untuk regenerasi tetap ada, sedangkan sel-sel yang sudah tua kesanggupan untuk regenerasi sudah berkurang (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Perkecambahan In Vitro

Perbanyakan tanaman dengan kultur in vitro dalam waktu singkat dari bahan yang sangat terbatas dapat dihasilkan bibit dalam jumlah yang banyak. Keberhasilan tersebut mendorong dimanfaatkannya kultur in vitro sebagai teknologi perbanyakan yang banyak memberikan keunggulan daripada cara konvensional (Mariska dan Purnamaningsih, 2001 dalam Zakaria, 2010). Kultur in vitro merupakan suatu teknik mengisolasi bagian hidup tanaman (eksplan), kemudian menumbuhkannya secara aseptik pada media yang telah ditentukan komposisi nutriennya (Suryowinoto, 2000 dalam Zakaria, 2010). Teknik kultir in vitro selain digunakan untuk perbanyakan tanaman juga digunakan untuk memproduksi senyawa metabolit sekunder yang menjadi sumber bahan obat (Aprianita, 2003 dalam Zakaria, 2010).

Dalam budidaya in vitro (kultur jaringan), menginduksi kalus merupakan salah satu langkah penting, setelah itu diusahakan agar terjadi diferensiasi akar dan tunas. Proses terjadinya kalus sampai diferensiasi berbeda–beda, tergantung pada bagian tanaman yang dipakai sebagai eksplan, metode budidaya in vitro, juga zat–zat tanaman yang dibubuhkan pada media dasar. Untuk mendapatkan kalus penggunaan eksplan dari daun umumnya lebih menguntungkan dari pada eksplan batang. Masalah yang perlu diantipasi adalah generasi kalus menjadi planlet. Untuk mendapatkan kalus, zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan adalah 2,4–D dari golongan auksin dan BAP dari golongan sitokinin (Ibrahim et al., 2004).

Medium Kultur Jaringan

Media kultur jaringan tersusun dari berbagai garam mineral asam amino, gula, vitamin, dan hormon tumbuhan. Mula-mula campuran media dibuat cair yaitu dengan menambahkan air suling (aquadest). Selanjutnya setelah jaringan berada dalam media cair dan digoncang-goncang dengan alat yang disebut shaker (meja penggojok) tunas-tunas akan muncul berupa tonjolan-tonjolan yang disebut procorn likabodies (Prawiro, 1992). Media merupakan faktor penetu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon, dan juga bahan tambahan lain seperti agar dan gula. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur in vitro yang dilakukan. Media yang sudah dibuat ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan harus disterilkan terlebih dahulu dengan autoklaf (Yusnita, 2003 dalam Zakaria, 2010).

Pudyastuti et al., (2011) menyatakan bahwa hasil penelitian tentang pertumbuhan kalus pada kedelai menunjukan bahwa untuk tahap induksi maupun proliferasi kalus embriogenik, media dengan penambahan 10 mg/liter 2,4D dan 10 mg/liter NAA memberikan respon yang lebih baik dibandingkan dengan penambahan 40 mg/liter 2,4 D dan 20 mg/liter. Media yang digunakan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap kemampuan regenerasi eksplan. Hamidah et al., (1997) dalam Marlina (2004) memodifikasi media MS dengan mereduksi hara makro menjadi ½ konsentrasi, konsentrasi sukrosa 6% dan modifikasi vitamin, untuk mendapat respons regenrasi yang tinggi pada eksplan. Penambahan air kelapa dan peningkatan konsentrasi 2,4 D dari 0,1 mg/l menjadi 2,5 mg/l mampu menstimulasi regenerasi eksplan secara optimal pada beberapa kultivar.

Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro lainnya konsemtrasinya dinaikkan sedikit. Pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS, dikembangkan media-media lain berdasarkan media MS tersebut, antara lain media Lin & Staba, menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur makro MS, dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya 10mM, sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM (Gunawan, 1992).

Zat Pengatur Tumbuh

            Zat pengatur tumbuh terdiri dari golongan sitokinin dan auksin. Auksin mempunyai peran ganda tergantung pada struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan tanaman yang diberi perlakuan. Auksin digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus, kultur suspensi, dan akar, yaitu dengan memacu pemanjangan dan pembelahan sel di dalam jaringan kambium. Auksin memacu pembentukan kalus embriogenik dan struktur embrio somatik seringkali diperlukan dalam konsentrasi yang relatif tinggi (Gaba, 2005). Kultur in vitro banyak mengunakan hormon pertumbuhan baik berupa auksin, sitokinin, maupun hormon pertumbuhan lainnya. Kombinasi auksin dan sitokinin diketahui dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan eksplan pada kultur in vitro. Auksin berperan pada pembentangan sel, sedangkan sitokinin merangsang pembelahan sel. Interaksi kedua ZPT tersebut akan meningkatkan jumlah  jumlah dan ukuran sel dalam jaringan (Wareing dan Philips, 1981 dalam Zakaria, 2010). Auksin pada konsentrasi rendah dapat memacu pertumbuhan akar dan pada konsentrasi tinggi dapat merangsang pertumbuhan kalus (Magoon dan Singh, 1995), sementara sitokinin konsentrasi rendah dapat memacu perkembangan tunas sedangkan konsentrasi tinggi merangsang penggandaan tunas (Nurwahyuni, 2004).

Kultur in vitro banyak menggunakan hormon pertumbuhan baik berupa auksin, sitokinin, maupun hormon pertumbuhan lainnya. Kombinasi auksin dan sitokinin diketahui dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan eksplan pada kultur in vitro. Auksin berperan pada pembentangan sel, sedangkan sitokinin merangsang pembelahan sel. Interaksi kedua ZPT tersebut akan meningkatkan jumlah dan ukuran sel dalam jaringan (Wareing dan Phillips (1981) dalam Zakaria (2010). Zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam kultur jaringan diperlukan untuk mengendalikan dan mengatur pertumbuhan kultur tanaman. Zat ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung pada tujuan dan tahap pengkulturan. Secara umum, zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur jaringan ada tiga kelompok besar, yaitu auksin, sitokinin, dan giberelin (Gunawan, 1992). Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus, akar, suspensi sel dan organ. Contoh hormon kelompok auksin adalah 2,4 Dikloro Fenoksiasetat (2,4-D), Indol Acetid Acid (IAA), Naftalen Acetid Acid (NAA), atau Indol Buterik Asetat (IBA). Golongan sitokinin berperan untuk menstimulus pembelahan sel dan merangsang pertumbuhan tunas pucuk, golongan ini sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin, ziatin, benzilaminopurine (BAP). Giberelin untuk diferensiasi atau perbanyakan fungsi sel, terutama pembentukan kalus. Hormon kelompok giberelin adalah GA3, GA2, dan GA1 (Gunawan, 1992).

 

Tahapan Kerja dalam Kultur Jaringan

            Tahapan dalam pembuatan  kultur jaringan ada 4, yaitu persiapan,  inokulasi, pemeliharaan, dan aklimatisasi. Persiapan yang dilakukan meliputi sterilisasi alat, pembuatan medium, sterilisasi medium, perkecambahan tanaman dalam media kultur. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan autoklaf. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril (Jumin, 1992).

Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah pertama pembuatan media. Kedua, inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas. Ketiga, sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril. Keempat, multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami eksplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar. Kelima, pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Keenam, pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Ketujuh, aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup (Nugroho, 1996).

Manfaat Kultur Jaringan

Metode kultur in vitro dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga  tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional (Harianto, 2009). Manfaat kultur jaringan bagi ternak sangat besar. Karena untuk menghasilkan ternak dengan produksi dan performan yang baik, dibutuhkan pakan dengan kualitas yang baik pula. Untuk menjaga kualitas tanaman pakan tetap baik, tidak cukup hanya mengandalkan metode pengembangan tanaman akan dengan metode yang biasa. Kultur jaringan muncul sebagai masalah dari tanaman pakan. Kultur jaringan mampu memproduksi tanaman pakan dalam jumlah yang banyak dan dengan kualitas yang sama baiknya. Sehingga kultur jaringan sangat menunjang kualitas dan jumlah tanaman pakan yang dihasilkan untuk menghasilkan ternak dengan produkksi dan performan yang baik (Marlina, 2004 ).

 

MATERI DAN METODE

 

Materi

            Alat. Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini atara lain adalah botol kultur, petridish steril dengan kertas saring, pinset, skalpel, laminar air flow, autoklaf, tabung reaksi, cawan petri, kertas saring, dan pipet steril.

Bahan. Bahan-bahan yan digunakan dalam praktikum ini antara lain adalah meristem apikal dari akar, daun, dan batang tanaman kacang hijau (Vigna radiata), Medium murashige dan skoog (MS) dengan zat pengatur tumbuh auksin 2,4-D 2 mg/L dan sitokinin, spirtus, alkohol 60%, bayclin, dan aquades steril.

 

Metode

            Induksi kalus. Biji kacang hijau (Vigna radiata) digerminasikan menggunakan botol kultur dan diinkubasikan selama 7 hari. Jaringan meristem dari tunas tanaman kacang hijau (Vigna radiata) diambil dalam lingkungan yang steril. Potong bagian meristem apikal (akar dan daun) menggunakan pisau skapel dengan ukuran 2 mm sampai 3 mm. Inokulasi dalam botol yang berisi medium MS dengan perbandingan hormon auksin dan sitokinin adalah 1 : 5. Inkubasikan pada ruang kultur bersuhu 240C dan tanpa pencahayaan. Amati pembentukan tunas dan kalusnya setiap hari dan dicatat pertumbuhannya pada hari ke-3, ke-6, ke-9, ke-12, ke-15, ke-18, dan ke-21.

Induksi tunas. Kalus dari eksplan (Vigna radiata) yang telah tumbuh dipotong dan ditanam pada botol yang berisi media MS dengan tambahan zat pengatur tumbuh untuk pertumbuhan tunas yaitu hormon auksin dan sitokinin dengan perbandingan 5 : 1. Inkubasi pada ruang kultur bersuhu 240C dengan cahaya. Amati pembentukan tunas dan kalusnya setiap hari dan catat pertumbuhannya pada hari ke-3, ke-6, ke-9, ke-12, ke-15, ke-18, dan ke-21.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Kultur jaringan merupakan perbanyakan tanaman dapat digolongkan menjadi dua, yaitu perbanyakan tanaman secara generatif dan perbanyakan secara vegetatif. Perbanyakan secara generatif adalah dengan menanam biji, sedangkan perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat dilakukan dengan okulasi, cangkok, penyambungan, merunduk dan yang paling mutakhir adalah dengan kultur jaringan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Tujuan dari praktikum kultur jaringan adalah untuk mengetahui teknik perkembangbiakan tanaman secara kultur jaringan. Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, diketahui bahwa tahapan pembuatan kultur jaringan meliputi tahap persiapan, inokulasi, pemeliharaan dan aklimatisasi. Tahapan persiapan, praktikan melakukan beberapa persiapan mulai dari menyiapkan alat-alat yang akan digunakan dalam pembuatan kultur jaringan, persiapan atau membuat medium yang akan digunakan untuk kultur jaringan, serta menyiapkan eksplan atau sumber bibit yang akan digunakan dalam pembuatan kultur jaringan.  Tahapan inokulasi, praktikan melakukan sterilisasi, mulai dari sterilisasi alat, medium hingga eksplan. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan autoklaf, selain itu juga dilakukan pengambilan eksplan dan kemudian dilakukan penanaman terhadap eksplan yang digunakan. Tahapan pemeliharan, praktikan mengamati pertumbuhan eksplan selama 21 hari yang ditempatkan dalam ruangan dengan suhu 240C, selama pengamatan dilakukan 2 perlakuan yang berbeda yaitu perlakuan gelap dan terang dengan perbandingan hormon yang diberikan adalah pada tempat terang sitokinin 5 dan auksin 1, sedangkan pada tempat gelap sitokinin 1 dan auksin 5. Tahapan aklimatisasi meliputi penyesuaian/adaptasi plantlet dari kondisi heterotrof di dalam botol kultur menjadi autotrof pada kondisi alamiahnya.

Menurut Soetrisno et al., (2008), kultur jaringan merupakan suatu proses dimana sebagian kecil jaringan hidup (eksplan) diisolasi dari suatu organisme dan ditumbuhkan secara aseptis selama periode tertentu pada medium nutrien. Ukuran eksplan bervariasi, berkisar dari sebesar seedling dan organ (seperti pada kultur embrio dan ovulum) sampai sekecil sel tunggal dan protoplas. Teknik perbanyakan tanaman dengan cara teknik kultur in vitro disebut juga mikropropogasi karena potongan tanaman atau eksplan tersebut berukuran kecil, sedangkan menurut Yusnita (2003), kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuh-kembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan maupun organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Teknik ini mampu memperbanyak tanaman dalam jumlah besar dan dalam waktu relatif singkat. Tahapan akhir dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah aklimatisasi planlet. Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet ke media aklimatisasi dengan intensitas cahaya rendah dan kelembapan nisbi tinggi, kemudian secara berangsur-angsur kelembapannya diturunkan dan intensitas cahayanya dinaikkan. Tahap ini merupakan tahap yang kritis karena kondisi iklim di rumah kaca atau rumah plastik dan di lapangan sangat berbeda dengan kondisi di dalam botol kultur.

Medium yang digunakan dalam kultur jaringan adalah jenis medium Murashige dan Skoog karena selain sudah umum digunakan dalam medium untuk kultur jaringan juga karena dalam medium tersebut terbapat banyak nutrien yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan lebih maksimal. Menurut Marlina (2004), media Murashige dan Skoog (MS) sering digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro, dan vitamin untuk pertumbuhan tanaman. Bagian tanaman yang digunakan ketika melakukan kultur jaringan adalah bagian akar dan bagian daun pada tanaman yang masih muda karena tanaman yang masih muda masih sedang dalam proses perbanyakan sel, sehingga proses tumbuhnya kalus lebih memungkinkan terjadi dibandingkan dengan tanaman yang sudah tua karena pertumbuhannya hanya pada pembesaran sel.

pH yang terdapat pada medium berkisar antara 5,4 sampai 5,8, pengaruh terhadap perubahan pH berkaitan dengan pertumbuhan eksplan yang ditanam dan juga terhadap medium yang digunakan. Menurut Gunawan (1992), pH media biasanya diatur pada kisaran 5.6 sampai 5.8, tetapi tanaman yang berbeda mungkin memerlukan pH yang berbeda untuk pertumbuhan optimum. Jika pH lebih tinggi dari 6.0, media mungkin menjadi terlalu keras dan jika pH kurang dari 5.2, agar tidak dapat memadat.

Kontaminasi pada Medium dan Eksplan

            Kontaminan merupakan salah satu kendala yang umum dihadapi para peneliti. Tingkat kontaminasi pada penelitian mikologi dapat mencapai 100%. Untuk itu perlu dilakukan usaha-usaha pengendalian. Pengendalian mikroorganisme ditujukan untuk mencegah penyebaran penyakit, membasmi mikroorganisme pada inang, serta mencegah pembusukan dan kerusakan bahan (Susilowati dan Shanti, 2001). Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data kontaminasi pada medium dan eksplan tertera pada tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Kontaminasi pada medium dan eksplan

Perlakuan Hari, Tanggal
Induksi kalus (eksplan akar)
Induksi tunas (eksplan akar)
Induksi kalus (eksplan daun)
Induksi tunas (eksplan daun)

Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa tidak terdapat kontaminsi untuk kedua percobaan, baik untuk induksii kalus maupun induksi tunas. Penyebab medium kultur jaringan terkontaminasi jamur yaitu sterilisasi alat kurang sempurna, suhu dan kelembaban setiap medium berbeda-beda, bahan yang dibuat untuk medium kurang homogen. Susilowati dan Shanti (2001) menyatakan bahwa mikroorganisme kontaminan berasal dari enam genus, yakni cendawan Mucor, Rhizopus, Aspergillus, Cladosporium, Dictyostelium dan golongan Saccharomyces. Menurut pendapat Smith (2000) eksplan atau kultur dapat terkontaminasi oleh berbagai mikrooganisme seperti jamur, bakteri, serangga atau virus. Organisme-organisme tersebut secara universal terdapat pada jaringan tanaman. Banyak yang bersifat non-patogenik, artinya mereka tidak menyebabkan bahaya bagi tanaman inang pada kondisi normal. Kondisi kering dan adanya organisme competitor menyebabkan mereka dalam kondisi terkontrol. Tapi, kondisi in vitro yang disukai eksplan, yaitu mengandung sukrosa dan hara dalam konsentrasi tinggi, kelembaban tinggi dan suhu yang hangat, juga disukai mikroorganisme yang seringkali tumbuh dan berkembang sangat cepat, mengalahkan eksplan.

`           Zulkarnaen (2009) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan diantaranya faktor lingkungan yang meliputi suhu dimana tanaman umumnya tumbuh pada lingkungan dengan suhu yang tidak sama setiap saat, misalnya pada siang dan malam hari tanaman mengalami kondisi dengan perbedaan suhu yang cukup besar. Tanaman pada suhu ruang kultur dibawah optimum, pertumbuhan eksplan lebih lambat, namun pada suhu diatas optimum pertumbuhan tanaman juga terhambat akibat tingginya laju respirasi eksplan. Faktor pH yang berubah, faktor kelembaban dimana kelembaban relatif dalam botol kultur dengan mulut botol yang ditutup umumnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 80 sampai 99%. Jika mulut botol ditutup agak longgar maka kelembaban relatif dalam botol kultur dapat lebih rendah dari 80%. Sedangkan kelembaban relatif di ruang kultur umumnya adalah sekitar 70%. Jika kelembaban relatif ruang kultur berada dibawah 70% maka akan mengakibatkan media dalam botol kultur (yang tidak tertutup rapat) akan cepat menguap dan kering sehingga eksplan dan plantlet yang dikulturkan akan cepat kehabisan media.

Induksi kalus

            Kalus adalah massa sel yang aktif membelah dan tak terorganisir yang biasanya muncul sebagai respon terhadap pelukaan jaringan dan organ yang telah mengalami diferensiasi. Hendaryono dan Wijayani (1994), menyatakan bahwa kalus adalah suatu massa sel yang terbentuk pada permukaan eksplan atau pada irisan eksplan. Kalus ini akan tumbuh pada eksplan di media padat, sedangkan di media cair akan tumbuh plb (protokormus). Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data produksi kalus tertera pada tabel 2 sebagai berikut.

Tabel 2. Produksi kalus

Hari ke- Eksplan
Daun Akar
3
6
9 +
12 +
15 +
18 +
21 +

Keterangan   : (-) tidak ada pertumbuhan kalus

(+) pertumbuhan kalus sedikit

(++) pertumbuhan kalus banyak

(+++) pertumbuhan kalus sangat banyak

Pertumbuhan kalus baik untuk eksplan daun maupun akar dilakukan pada ruangan gelap atau tanpa pencahayaan. Hormon yang digunakan untuk pertumbuhan kalus pada ruangan gelap adalah hormon sitokinin dan auksin dengan perbandingan 1 : 5. Hal ini disebabkan karena pada ruangan gelap hormon auksin lebih efektif karena untuk merangsang pertumbuhan sel. Dwidjoseputro (1985) dalam Putri (2008) menyatakan sinar atau cahay dapat merusak auksin dan dapat pula menyebabkan pemindahan auksin ke jurusan yang menjauhi sinar. Metode kultur jaringan dalam kondisi gelap merupakan salah satu cara untuk mengefektifkan kerja auksin sehingga dapat mempercepat pembentukan kalus. Magoon dan Singh (1995) menyatakan bahwa auksin pada konsentrasi rendah dapat memacu pertumbuhan akar dan pada konsentrasi tinggi dapat merangsang pertumbuhan kalus. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Zakaria (2010) menunjukkan bahwa jika konsentrasi auksin lebih besar daripada sitokinin, maka akar akan terbentuk, sedangkan juka konsentrasi sitokinin yang lebih besar makan yang terbentuk adalah tunas.

Temperatur di dalam ruang kultur yang baik adalah pada suhu normal yaitu antara 25 sampai 280C. Pengaturan suhu dilakukan dengan menggunakan AC, karena ruang kultur merupakan ruang tertutup yang sedikit sekali mempunyai aliran udara bebas. Beberapa perlakuan khusus kadang-kadang memerlukan suhu rendah (18 sampai 200C), sehingga diperlukan adanya growth chamber yang dapat diatur suhu dan pencahayaannya (Gunawan, 1992).

Berdasarkan tabel 1, setelah dilakukan pemeliharaan selama 21 hari, diketahui bahwa untuk kalus dengan eksplan daun tidak menunjukkan adanya pertumbuhan kalus, sedangkan untuk kalus dengan eksplan akar mulai menunjukkan adanya pertumbuhan pada hari ke 9 dan hingga hari terakhir pertumbuhan kalus mengalami pertumbuhan sedikit. Tidak tumbuhnya kalus pada eksplan daun disebabkan karena kandungan nutrien yang ada pada media kurang terpenuhi, selain itu ada kemungkinan faktor bagian tumbuhan yang digunakan untuk eksplan. Menurut Reksohadiprojo (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan kalus ialah komposisi medium nutrien dan faktor-faktor fisik seperti suhu dan kelembapan dan medium yang digunakan seperti pada praktikum ini yaitu medium MS (Murashige dan Skoog) atau modifikasinya. Muhit (2007) berpendapat bahwa pembentukan kalus embriogenik (dediferensiasi) dimulai dari sel-sel spesifik pembentuk akar, dilanjutkan inisiasi pembentukan akar pada sel-sel yang dekat dengan jaringan pengangkutan yang menjadi meristimatik akibat proses sebelumnya. Selanjutnya akar membentuk primordia akar di dalam jaringan. Primordia tersebut akan terus tumbuh dan membentuk akar ke luar jaringan tanaman. Menurut Soetrisno et al., (2008), keberhasilan kultur jaringan in vitro tergantung pada banyak faktor, jika salah satu faktor tidak terpenuhi dapat menyebabkan kegagalan seluruh pekerjaan yang dilakukan atau setidaknya hasil yang diperoleh akan berbeda dengan yang diharapkan. Faktor-faktor tersebut berupa eksplan, media, dan lingkungan fisik kultur. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan antara lain genotip, umur tanaman, umur jaringan atau organ, keadaan fisiologis tanaman, keadaan kesehatan tanaman, kondisi pertumbuhan tanaman, posisi eksplan pada tanaman, ukuran eksplan, pelukaan, metode inokulasi, nurse effect, ruang kultur, dan cahaya, suhu, kelembaban, ketersediaan air, oksigen pada ruang inkubasi.

Induksi Tunas

            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data produksi kalus tertera pada tabel 3 sebagai berikut.

Tabel 3. Produksi tunas

Hari ke- Eksplan
Daun Akar
3
6
9 +
12 +
15 +
18 +
21 +

Keterangan   : (-) tidak ada pertumbuhan tunas

(+) pertumbuhan tunas sedikit

(++) pertumbuhan tunas banyak

(+++) pertumbuhan tunas sangat banyak

Pertumbuhan tunas baik pada daun maupun akar dilakukan pada ruangan terang atau dengan pencahayaan. Hormon yang digunakan untuk pertumbuhan kalus pada ruangan gelap adalah hormon sitokinin dan auksin dengan perbandingan 5 : 1. Hal ini disebabkan karena pada ruangan gelap hormon auksin lebih efektif karena untuk merangsang perkembangan sel dan juga tujuan pembentukan tunas adalah untuk mendapatkan jumlah tunas yang lebih banyak. Nurwahyuni (2004) menyatakan bahwa sitokinin konsentrasi rendah dapat memacu perkembangan tunas sedangkan konsentrasi tinggi merangsang penggandaan tunas. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Putri (2008) menunjukkan hasil bahwa pertumbuhan kultur tanaman in vitro pertumbuhannya lebih cepat ketika adanya cahaya dibandingkan tidak ada cahaya pada perlakuan medium yang sama.

Berdasarkan tabel 2, setelah dilakukan pemeliharaan selama 21 hari, diketahui bahwa untuk kalus dengan eksplan daun tidak menunjukkan adanya pertumbuhan tunas, sedangkan untuk tunas dengan eksplan akar mulai menunjukkan adanya pertumbuhan pada hari ke 9 dan hingga hari terakhir pertumbuhan tunas mengalami pertumbuhan sedikit. Tidak tumbuhnya tunas pada eksplan daun disebabkan karena kandungan nutrien yang ada pada media kurang terpenuhi, selain itu ada kemungkinan faktor bagian tumbuhan yang digunakan untuk eksplan. Pudyastuti et al., (2011) menyatakan umumnya kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman tetapi bagian yang berbeda menunjukan respon yang berbeda. Hal ini diduga disebabkan karena suatu sifat yang terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya terjadi pada sel di lapisan perifer. Sel-sel pada lapisan tersebut membelah terus menerus sedangkan di tengah tetap quiescent (tidak membelah). Pada kondisi morfologi dalam keadaan terang kotiledon selama 24 jam akan menghasilkan kalus yang sama dengan kalus dari kondisi gelap, namun pada penyinaran yang terus menerus kalus akan berwarna hijau. Selain intensitas cahaya, lama penyinaran (fotoperiodisme) mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan.

Soetrisno et al., (2008) menyatakan keberhasilan kultur jaringan in vitro tergantung pada banyak faktor, jika salah satu faktor tidak terpenuhi dapat menyebabkan kegagalan seluruh pekerjaan yang dilakukan atau setidaknya hasil yang diperoleh akan berbeda dengan yang diharapkan. Faktor-faktor tersebut berupa eksplan, media, dan lingkungan fisik kultur. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan antara lain genotip, umur tanaman, umur jaringan atau organ, keadaan fisiologis tanaman, keadaan kesehatan tanaman, kondisi pertumbuhan tanaman, posisi eksplan pada tanaman, ukuran eksplan, pelukaan, metode inokulasi, nurse effect, ruang kultur, dan cahaya, suhu, kelembaban, ketersediaan air, oksigen pada ruang inkubasi.

 

 

KESIMPULAN

 

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa teknik perkembangbiakan tanaman secara kultur jaringan meliputi eksplan akar, eksplan batang, dan eksplan daun tanamanyang kemudian mengalami diferensiasi untuk membentuk kalus. Hasil pengamatan pertumbuhan kalus maupun pertumbuhan tunas pada eksplan daun tidak ada pertumbuhan sedangkan pada eksplan akar mengalami pertumbuhan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Gaba, V.P. 2005. Plant Growth Regulator. In R.N. Trigiano A\and D.J. Gray (Eds.) Plant Tissue Culture and Development. Crc Press. London. P. 87-100.

Genta. 1997. Budidaya Tanaman Pangan. Agritec. Surabaya.

Gunawan, L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Harianto. W. 2009. Pengenalan Teknik In Vitro. Bumi Aksara. Jakarta.

Hendaryono, Sriyanti dan Ari Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Ibrahim,M.S.D., N. Nova K., Nurliani B. 2004. Studi pendahuluan : induksi kalus embriogenik dari eksplan daun Echinaceae purpurea. Buletin TRO Vol. XV No. 2, 2004.

Jumin, H. B. 1992. Etiologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologi. Rajawali Press. Jakarta.

Maggon, R. dan Singh, B.d., 1995. Promotion of adventure bud regeneration by aba in combination with BAP in epicotyl and hypocotyl explants sweet orange (Citrus sinensis L. Osbeck), Scientia horticulturae 63: 123-128.

Mariska, I. Dan D. Sukmadjaja. 2003. Kultur Jaringan Abaka. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor.

Marlina, Nina. 2004. Teknik modifikasi media murashige dan skoog (ms) untuk konservasi in vitro mawar (Rossa spp.). Buletin Teknik Pertanian Vol. 9. Nomor 5, 2004.

Marlina, Nina. 2004. Teknik perbanyakan anthurium dengan kultur jaringan. Buletin Teknik Pertanian Vol. 9. Nomor 2, 2004.

Muhit, Abdul. 2007. Teknik produksi tahap awal benih vegetatif krisan (Chrysanthemum Morifolium R.). Buletin Teknik Pertanian Vol. 12 No. 1

Nugroho, A Dan Sugito, H. 1996. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Nurwahyuni,I. 1994. Perbanyakan tanaman kopi arabika (Cofea arabica L) secara kultur jaringan, komunikasi penelitian 11 (2):88-102.

Prawiro. 1992. Peningkatan Produksi Pertanian. Kedaong. Bandung.

 

Pudyastuti, S., Noor A. H., Sumadi. 2011. Efektivitas ZPT 2,4 D pada medium dan lama pencahayaan untuk menginduksi kalus dari kotiledon kedelai. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Semarang. ISSN 2085-191X.

Purnamaningsih, R. 2003. Seleksi in vitro tanaman padi untuk ketahanan terhadap alumunium. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.

Putri, N. I. 2008. Kajian Berbagai Komposisi Media Serta Kondisi Gelap dan Terang Terhadap Induksi Kalus Tanaman Biji Belanda (Guazama ulmifolia Lamk.). Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Reksohadiprodjo, S. 1995. Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Smith, R.H. 2000. Plant Tissue Culture : Techniques and Experiments. Academic press. London.

Soetrisno, R. D., Bambang Suhartanto, Nafiatul Umami, dan Nilo Suseno. 2008. Bahan Ajar Pengantar Kultur Jaringan Tanaman Pakan. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Susilowati, A., Shanti L. 2001. Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme Sumber Kontaminasi Kultur In Vitro di Sub-Lab. Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS. Jurusan Biologi FMIPA UNS. Surakarta.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Zakaria, D. 2010.  Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan BAP (Benzil Amino Perine) dalam Media Murashige Skoog (MS) terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Reserpin Kalus Pule Pandak (Rauvolfia verticillata Lour.). Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Zulkarnaen. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman Budi Daya. Bumi Aksara. Jakarta.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published.